Disparitas Harga Jadi Akar Masalah Langkanya Minyak Goreng

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebutkan akar masalah dari kelangkaan minyak goreng yang terjadi di pasaran saat ini adalah adanya disparitas harga antara kebijakan domestic price obligation (DPO) yang ditetapkan oleh pemerintah, harga eceran tertinggi, dan harga pasar. Disparitas harga tersebut berkisar antara Rp 8.000 sampai Rp 9.000. Yeka mengemukakan bahwa harga DPO sebesar Rp 9.300 untuk CPO di dalam negeri dan HET minyak goreng curah Rp 14 ribu per liter. Sedang harga di pasar tradisional yang masih tinggi sekitar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per liter menimbulkan kelangkaan.

Berdasarkan pemantauan Ombudsman di 274 pasar seluruh Indonesia, harga minyak goreng yang sesuai dengan HET yaitu maksimal Rp 14 ribu per liter untuk kemasan premium bisa ditemui di pasar atau ritel modern, namun dengan jumlah yang terbatas atau bahkan langka. Sementara harga minyak goreng curah, kemasan modern, dan kemasan premium bisa ditemui di pasar tradisional namun dengan harga yang jauh di atas HET pemerintah. Menurut Ombudsman, kelangkaan tersebut diduga akibat dari spekulan yang bermain baik berupa penyelundupan ataupun penimbunan minyak goreng. Spekulan tersebut memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara HET dengan harga pasar tradisional yang sulit diintervensi. Jika pasar modern ini bisa diintervensi, maka pasar tradisional cukup sulit diintervensi karena pelakunya sangat banyak.

Menurut Kementerian Perdagangan, para pelaku usaha eksportir CPO di Indonesia telah mematuhi kebijakan Domestic Mandatory Obligation (DMO) untuk mengalokasikan 20 persen CPO total ekspor, yang kini diubah menjadi 30 persen, untuk kebutuhan dalam negeri yaitu produksi minyak goreng. Namun faktanya di lapangan masih terdapat kelangkaan di masyarakat dan menyebabkan harganya tetap tinggi di beberapa pasar tradisional.

Search