Menteri Kebudayaan Fadli Zon dicecar pertanyaan terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia oleh anggota Komisi X DPR RI saat rapat kerja bersama di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Anggota Komisi X dari Fraksi PDI-P, Mercy Chriesty Barends, meminta Fadli Zon meluruskan pernyataannya. Negara melalui Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, dalam pidatonya saat Sidang Umum MPR 16 Agustus 1998 telah mengakui secara gamblang bahwa terjadi perundungan seksual terhadap kaum perempuan selama kerusuhan Mei 1998. Mercy menegaskan, secara moral, satu korban pun sudah lebih dari cukup untuk membuktikannya.
Juliyatmono dari Fraksi Partai Golkar juga meminta Fadli Zon dan seluruh jajaran Kemenbud memperbaiki komunikasi publiknya agar proyek penulisan ulang sejarah ini sesuai dengan tujuan awalnya. Habib Syarief Muhammad dari Fraksi PKB bahkan meminta Fadli Zon menunda proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Sebab, pengerjaannya tidak transparan, terburu-buru, dan justru menimbulkan polemik di masyarakat. Melly Goeslaw dari Fraksi Partai Gerindra pun meminta Kemenbud menulis ulang sejarah berdasarkan bukti yang dapat diverifikasi dan didukung dokumen resmi negara. Ini penting agar hasilnya bisa obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa orang dari kelompok masyarakat sipil yang menyaksikan rapat dari balkon ruang rapat Komisi X menginterupsi rapat lalu membentangkan spanduk dan poster, serta menyampaikan sejumlah tuntutan. Mereka menyampaikan Fadli Zon harus meminta maaf kepada perempuan korban kerusuhan 1998 atas ucapannya, hentikan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, tolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI Soeharto, dan usut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang tak kunjung selesai sampai sekarang. Fadli Zon kemudian menegaskan bahwa ia tidak menyangkal adanya pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998. Namun, dia kembali bersikukuh bahwa tidak tepat jika kasus itu disebut sebagai pemerkosaan massal.