Ketua KPU Mochammad Afifuddin menilai, jarak penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang ada saat ini terlalu berdekatan. Akibatnya, penyelenggara kewalahan melaksanakan tahapan yang ada. Hal ini disampaikan Afifuddin dalam diskusi Kupas Tuntas Rencana Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan, di Media Center Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025). Afifuddin mengusulkan agar ada jeda setidaknya selama 1,5 tahun di antara pemilu dan pilkada. Jeda tersebut penting agar beban kerja penyelenggara tidak menumpuk dan publik tidak bingung dalam membedakan proses dan aturan di antara kedua kontestasi itu. Afifuddin menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum di Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan keserentakan. Namun, ia berharap ke depan ada peninjauan serius terhadap tahapan yang padat agar sinkron dengan masa jabatan pejabat publik, termasuk potensi kekosongan jabatan atau penunjukan pejabat sementara.
Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menyatakan, DPR belum mengambil keputusan terkait bentuk, skema, ataupun rentang waktu ideal antara pemilu dan pilkada. Ia menekankan pentingnya penyusunan peta persoalan yang dihadapi oleh penyelenggara dan peserta pemilu agar solusi yang diambil nantinya benar-benar menyentuh akar permasalahan. Salah satu sorotan utama DPR adalah lemahnya sistem pengawasan dan penindakan dalam proses pemilu.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai, banyak persoalan penting dalam pemilu belum mendapat perhatian memadai dari pembuat undang-undang, khususnya terkait perkembangan teknologi informasi, peran buzzer atau pendengung, dan lemahnya penegakan hukum di era digital.