Depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi mengancam target pertumbuhan yang dicanangkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sulit tercapai. Kendati Bank Indonesia (BI) terus menjaga, namun kurs rupiah sudah terdepresiasi sebesar 7 persen sepanjang 2022. Rupiah pada penutupan perdagangan Rabu (19/10) ditutup melemah 34 poin atau 0,22 persen ke level 15.498 per dollar AS dibandingkan penutupan sehari sebelumnya di posisi 15.464 per dollar AS.
Direktur Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan sulit untuk membuat prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa melewati 5 persen. Sebab jelas ada ancaman yakni nilai tukar yang melemah dan pada beberapa sisi akan memberi dampak pada barang-barang impor, sehingga impor value-nya akan meningkat cukup tajam. Ketika importansi meningkat cukup tajam, surplus perdagangan akan mengecil dan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam sebuah webinar mengatakan akan terus menjaga kurs rupiah agar peningkatan harga pangan dan energi global tidak berdampak terhadap harga pangan dan energi di dalam negeri. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan mencapai 5,2 persen yang didukung oleh ekspor dan konsumsi dalam negeri yang perlu dijaga ke depan. Sedangkan pada 2023, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 4,6 sampai 5,3 persen atau lebih tinggi dibandingkan ekonomi global yang diperkirakan tumbuh 2,6 persen. Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, mendorong pemerintah untuk lebih akseleratif melakukan hilirisasi. Hal itu agar pertumbuhan ekonomi ke depan tidak bergantung pada kenaikan harga komoditas di pasar global.