Badan Intelijen Iran telah memperingatkan warga yang mengikuti unjuk rasa yang semakin memanas belakangan ini bahwa mereka telah melanggar hukum dan bisa dituntut. Aksi unjuk rasa tersebut sudah menyebar ke lebih dari 80 kota di Iran, dan didominasi partisipan perempuan yang melambaikan dan membakar jilbab, hingga memotong rambut mereka di depan umum. Kelompok HAM mengatakan setidaknya 31 warga telah terbunuh dalam unjuk rasa tersebut, sementara stasiun televisi setempat mencatat 17 kematian. Kamis lalu (22/9/2022) pengunjuk rasa di Teheran dan beberapa kota Kurdi bahkan membakar kantor dan kendaraan polisi.
Mahsa yang berusia 22 tahun mengalami koma ketika ditahan polisi sebelum akhirnya meninggal di rumah sakit. Presiden Iran Ebrahim Raisi telah mengumumkan akan melakukan penyelidikan penyebab kematiannya. Pihak berwajib namun membantah tuduhan mereka telah menganiaya massa. Unjuk rasa karena kematian Mahsa adalah aksi protes terbesar yang pernah terjadi di Republik Islam tersebut sejak 2019. Kematian Mahsa telah membangkitkan amarah terhadap isu kebebasan pribadi di Iran, termasuk di antaranya aturan gaya berpakaian yang ketat bagi perempuan, dan guncangan ekonomi akibat sanksi tersebut. Pemimpin Iran khawatir munculnya unjuk rasa di tahun 2019 akibat kenaikan harga gas, fenomena paling berdarah di negara tersebut, bisa kembali terulang lagi. Sekitar 1.500 orang terbunuh dalam unjuk rasa tersebut.