Deindustrialisasi Dini Menghambat Indonesia untuk Masuk Negara Berpendapatan Tinggi

Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, Indonesia telah menunjukkan gejala deindustrialisasi dini. Ini terlihat dari kontribusi industri manufaktur ke produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang menurun. Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti menunjukkan, pada sekitar tahun 2000, kontribusi industri manufaktur ke PDB tembus sekitar 32%. Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan, kontribusi pertumbuhan industri manufaktur pada PDB tahun 2023 sekitar 18,34%. “Ini karena zaman boom komoditas. Jadi, kita terlena. Biasa disebut Dutch Disease. Jadi, deindustrialisasi dini,” terang Amalia dalam peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia 2023, belum lama ini.

Amalia menyiratkan, ini menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia yang ingin mencapai asa menjadi negara maju atau keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Karena biasanya, kalau suatu negara ingin loncat menjadi negara maju, sektor industri manufaktur inilah yang menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan memberi kontribusi pada PDB cukup tinggi. “Kalau mau mempercepat pertumbuhan ekonomi, salah satu yang paling efektif adalah melalui industrialisasi. Kalau kita (Indonesia) belum maju, tetapi sudah deindustrialisasi,” tambahnya.

Amalia mengambil contoh. Menurutnya, salah satu negara yang bisa keluar dari jebakan negara kelas menengah adalah Korea Selatan. Negara ginseng itu hanya butuh waktu 17 tahun untuk keluar dari jebakan negara berkembang. Korea Selatan masuk ke dalam kategori negara maju pada tahun 1996, dengan kontribusi industri ke PDB sebesar 24,7%. Kemudian, Singapura juga masuk menjadi kategori negara maju pada tahun 1991. Singapura juga mencatat kontribusi industri pengolahan pada PDB mencapai 26,6%. Sedangkan target Indonesia untuk menjadi negara maju adalah sebelum tahun 2045, alias sekitar 20 tahun dari sekarang.

Search