Presiden Yoon Suk Yeol mendeklarasikan darurat militer di Korea Selatan pada Selasa (3/12) malam waktu setempat, saat merasa kekuasaan dia terancam. Dalam pidato, Yoon mengatakan langkah itu sebagai cara untuk membawa keamanan nasional karena ada kekuatan pro Korea Utara yang memberontak dan mengecam tindakan parlemen yang dikuasai oposisi. Pengumuman tersebut muncul saat kepercayaan publik terhadap Yoon menurun dan politik Korsel tengah gonjang-ganjing. Lalu, apakah penerapan status darurat militer sebagai skenario Yoon mengamankan kekuasaan?
Pengamat politik internasional dari Universitas Diponegoro, Aniello Iannone mengatakan status tersebut merupakan upaya Yoon mengamankan kursi kepresidenan. Penetapan itu, lanjut dia, terjadi saat posisi politik Yoon melemah, sementara oposisi menguat. Sejumlah pihak mengasosiasikan kekuatan anti-negara adalah parlemen yang dikuasai mayoritas dalam hal ini aliansi pimpinan Partai Demokratik. Yoon, dalam pidato itu, juga menyebut lawan politiknya di parlemen melumpuhkan pengadilan di Korsel dengan mengancam para hakim dan memakzulkan jaksa penuntut. Partai Demokratik di parlemen, lanjut dia, juga berupaya menyingkirkan menteri dalam negeri, badan pengawas penyiaran, kepala Badan Audit dan Inspeksi, serta menteri pertahanan.
Di sisi lain, kepercayaan publik terhadap Yoon merosot tajam hingga di bawah 20 persen saat skandal penyuapan mencuat dan kisruh parlemen tak kunjung reda. Yoon, dalam pidatonya, alih-alih menjelaskan ancaman kekuatan anti negara atau kekuatan pro Korea Utara yang dimaksud, dia malah memperjelas ribut-ribut politik domestik. Park Chan Hwan, profesor politik dari Universitas Jangan di Hwaseong, Korsel menilai status darurat militer itu sebagai upaya terakhir Yoon yang sangat panik. Para pengamat meyakini penggunaan darurat militer bisa menjadi preseden bahaya, merusak norma demokrasi, dan mengikis kepercayaan publik.