Beberapa hari lalu, Bagi Trisa Triandesa mengkritik usulan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang ingin agar sekolah masuk pukul 06.00 pagi demi membentuk disiplin siswa. Setelah video itu diunggah, Trisa mendapatkan beragam reaksi dari warganet. Ada yang mendukung kontennya karena dinilai edukatif, tetapi tak jarang pula warganet menyerang Trisa secara personal dengan mempertanyakan agama atau latar belakang pendidikannya. Menurut Trisa, banyak warganet yang tidak mampu membedakan kritik terhadap kebijakan dengan serangan personal. Fenomena ini, menurut Trisa, tak lepas dari bias kognitif manusia saat orang cenderung menerima informasi yang sesuai dengan apa yang mereka percaya dan menolak yang berlawanan.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat media sosial belum menjamin kebebasan berekspresi di Indonesia. Mulai dari semakin banyak kasus kriminalisasi terhadap ekspresi di media sosial, hingga serangan digital seperti doxing, peretasan, dan intimidasi online yang banyak dialami aktivis, jurnalis, serta orang-orang yang kritis terhadap kebijakan publik. Nenden juga menyoroti peran buzzer yang kerap membungkam kritik dengan membentuk opini baru terhadap suatu isu. Nenden menjelaskan bahwa menurunnya partisipasi publik dalam proses politik dan pengambilan kebijakan dapat menyebabkan melemahnya kontrol sosial.
SAFEnet juga menyoroti pentingnya literasi digital dan pengetahuan tentang hak digital bagi publik. Selain itu, perlu ada peningkatan kapasitas publik dalam memantau pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital juga perlu dilakukan. Banyak kasus doxing, peretasan, dan kebocoran data pribadi yang pelakunya gentayangan tanpa diusut tuntas. Sementara itu, sangat penting warganet memahami pentingnya empati dan regulasi emosi agar tidak mudah terpicu oleh perbedaan pendapat.