Pandemi Covid-19 memicu hilangnya perajin batik dalam jumlah besar. Sementara itu, sebagian generasi muda enggan berkecimpung di industri batik karena pertimbangan ekonomi. Berdasarkan data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), jumlah pembatik di Indonesia turun 80 persen selama pandemi. Sebelum pandemi, jumlah pembatik mencapai 131. 568 orang dan kini tinggal sekitar 26.000 orang.
Menurut Ketua Umum APPBI Komarudin Kudiya, para pembatik beralih profesi selama pandemi. Ada yang melaut, bertani, menjadi tukang kayu, tukang batu, dan perajin rotan. Saat pindah profesi, kami khawatir keahlian atau keterampilan motorik halus mereka untuk membatik ikut berubah, kata Komarudin saat dihubungi, pada Kamis (24/2/ 2022). Alih profesi disebabkan anjloknya penjualan batik selama pandemi. Ini terjadi karena kunjungan publik ke pameran dan toko batik turun.
Pendiri komunitas Kesengsem Lasem, Agni Malagina, mengatakan, isu regenerasi dikeluhkan para pembatik yang kini berusia 40-80 tahun. Anak-anak mereka lebih memilih bekerja di pabrik atau kantor daripada menjadi pembatik. Ekonomi menjadi isu utama keengganan anak muda menekuni batik. Menurut Agni, belum banyak rumah batik yang menjamin kesejahteraan para pekerja yang terlibat dalam industri batik. Generasi muda pun memilih pekerjaan dengan upah minimum regional (UMR) agar bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Anggota Paguyuban Pecinta Batik Indonesia (PPBI) Sekar Jagad, Indrawati Gan, mengatakan, usaha batik keluarganya yang dirintis sejak tahun 1860-an sempat menghilang setelah ayahnya meninggal. Untuk menghidupkannya lagi, ia belajar batik ke berbagai sumber dan menulis buku tentang jejak batik keluarganya. Pengalaman ini agar jangan terjadi ke pembatik di generasi lain. Warisan budaya ini mesti dilestarikan. Menurut saya, literasi dan dokumentasi tentang batik sangat penting. Ini agar anak dan cucu kita nanti tidak kehilangan informasi berharga, ujarnya pada acara daring Bincang Batik: Batik Peranakan, Pusaka Budaya Indonesia yang digelar PPBI Sekar Jagad.