Fenomena iklim El Nino yang tengah melanda Indonesia mendatangkan kekhawatiran. Bagaimana tidak, ancaman kekeringan hingga krisis pangan menjadi dampak yang terus mengintai, bahkan kian nyata di masyarakat. Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, pihaknya memproyeksikan puncak siklus El Nino terjadi dari Agustus sampai Oktober 2023. Dalam momentum tersebut sejumlah daerah akan dilanda kekeringan parah, terutama di daerah yang memiliki curah hujan yang relatif rendah dibandingkan daerah lainnya. “Yang perlu diwaspadai Pulau Sumatera bagian tengah hingga selatan. Lalu Riau bagian selatan, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Banten dan Jawa Barat,” katanya, dalam acara FGD Antisipasi Menghadapi Musim Kemarau dan Bencana Kekeringan Tahun 2023 di Kementerian PUPR, Jakarta Selatan, Senindaerah tersebut akan mendatangkan kekeringan, hingga berpotensi menimbulkan gagal panen pertanian serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Selain itu, sebagian besar wilayah di Indonesia akan mengalami curah hujan yang sangat kecil. Meski demikian, menurutnya, kondisi ini tak berlaku bagi daerah yang memiliki topografi tinggi.
Sementara itu, Plt. Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat (PUPR) Jarot Widyoko mengakui dampak El Nino telah terlihat di sebagian wilayah di Tanah Air yang saat ini telah dilanda kekeringan. Kawasan-kawasan tersebutlah yang saat ini menjadi fokus pemerintah agar bisa segera tertangani. Atas kondisi ini, Jarot mengimbau kepada masyarakat agar lebih mengutamakan pemanfaatan air untuk minum dibandingkan untuk aktivitas lainnya seperti bertani. Hal ini dirasa perlu dilakukan mengingat ketersediaan air yang semakin terbatas. Jarot mengatakan, pihaknya telah menyiapkan 223 bendungan dengan total volume air 6,7 miliar m3 dan volume pemanfaatan air 4,37 miliar m3 sebagai salah satu infrastruktur penunjang ketersediaan air. Namun, semakin lama bendungan tersebut dapat mengering sehingga pemanfaatan air harus diatur dengan baik.
Berkaca pada data tersebut, terlihat masih ada potensi banjir yang mengintai lahan pertanian. Gandi memaparkan, akibat terjadinya fenomena El Nino dalam beberapa waktu terakhir, sebanyak 20.255 hektare (ha) lahan padi mengalami kekeringan serta sebanyak 14.000 lahan padi terkena banjir. “Dampaknya yaitu puso (gagal panen). Jadi dari yang terkena tadi yang terkena atau dampak gagal panen adalah pada musim kemarau 2023 banjir 14.000 hektare, itu terancam puso tenggelam 1.800 hektare. Sementara kekeringan tahun ini dari 27.000-an (hektare lahan), yang puso 469 hektare,” jelasnya.
Dengan demikian, secara total dari kekeringan 469 hektare dan banjir 1.800 hektare, ada 2.269 hektare lahan padi yang terancam gagal panen pada tahun ini. Walau angkanya terbilang cukup besar, ia optimis dengan berbagai upaya matang dalam penyiapan air, bisa menekan puso yang signifikan.”Ada rencana aksi yang sudah dan akan kita lakukan. Pertama, gerakan kejar tanam (gertam) 1.000 ha per kabupaten dan gerakan nasional penanganan El Nino 500 ha di seluruh provinsi dengan strategi peningkatan indeks tanaman, perluas area tanam, dan peningkatan produktivitas,” kata Gandi.