Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) tegas menentang pengenaan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) yang dinilai tak selaras dengan tujuan pemerintah untuk mengendalikan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM). Ketua Umum Asrim, Triyono Prijosoesilo mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan ulang terkait wacana penerapaan cukai MBDK tahun ini. Sebab, ada banyak langkah dan kebijakan yang perlu disiapkan sebelum cukai diberlakukan. “Apabila pemerintah tetap menerapkan cukai MBDK ini, maka sudah pasti industri minuman siap saji akan mengalami dampak negatif berupa penurunan penjualan,” kata Triyono kepada Bisnis, Selasa (30/1/2024).
Menurut Triyono, jika cukai MBDK disebut menjadi solusi untuk meminimalisir penyakit diabetes, obesitas dan lainnya, maka langkah tersebut tidak efektif. “Kami semua memahami bahwa PTM itu penyebabnya multi faktor, terutama gaya hidup yang mencakup pola konsumsi, aktivitas fisik, genetik, dan lainnya,” ujarnya. Artinya, semestinya tidak hanya MDBK tetapi juga semua produk mamin yang di konsumsi oleh konsumen, baik makanan, minuman, olahan maupun non-olahan yang diatur pemerintah. Di sisi lain, Triyono mengutip data riset Institut Pertanian Bogor (IPB) 2019 yang menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia di dominasi oleh mamin non-olahan sebesar 70%. “Sementara mamin olahan [produk kemasan] hanya sebesar 30%, MBDK itu kan bagian dari mamin olahan,” tuturnya.
Lebih lanjut, data Total Diet Study Kementerian Kesehatan 2014 menunjukkan bahwa secara kontribusi kalori, produk minuman olahan dan non-olahan hanya berkontribusi sebesar 10% dari total mamin yang di konsumsi. “Dari 10% kontribusi mamin, porsi MBDK kurang lebih 2-3% dari total kalori yang di konsumsi,” imbuhnya. Untuk itu, pelaku usaha menilai kebijakan cukai MBDK tidak akan efektif untuk menjawab permasalahan prevalensi PTM, termasuk menurunkan konsumsi kalori masyarakat.