Pergeseran konsumsi rokok ke produk yang lebih murah (downtrading) diperkirakan marak terjadi pada 2022. Hal itu disebabkan oleh faktor variasi harga, meski pemerintah telah menetapkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) sejak 1 Januari 2022. Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan mengatakan pergeseran konsumsi rokok ke produk yang lebih murah juga dikhawatirkan tidak menurunkan pravalensi konsumsi rokok masyarakat Indonesia, melainkan membuka peluang perokok untuk memilih opsi rokok di golongan bawah karena harga yang lebih terjangkau.
Kenaikan CHT dari tahun ke tahun membuat pengusaha mempertahankan volume penjualan dan margin di tengah biaya produksi dari cukai yang terus meningkat. Kenaikan harga jual produk yang terlampau tinggi, justru akan membuat pabrikan kehilangan pembeli dan pangsa pasar. Selisih tarif cukai antara golongan yang sangat lebar, akan membuat pabrikan lebih memilih untuk menahan bahkan mengurangi produksinya untuk mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah dan mampu menjual rokok dengan harga lebih murah, dan margin keuntungan dapat tetap terjaga.
Selain itu, di luar jumlah rokok ilegal yang masih tinggi, maraknya penjualan rokok di golongan 2 dan 3 (yang lebih murah) inilah yang membuat konsumsi rokok tak menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 mencatat tingkat konsumsi rokok masyarakat usia di atas 15 tahun sebesar 28,96 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 sebesar 28,69 persen. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan bahwa naiknya CHT akan memengaruhi kenaikan harga rokok dan produk-produk hasil tembakau. Hal tersebut membuka celah pemain-pemain nakal untuk mengedarkan rokok ilegal yang harganya akan lebih murah.