Rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat disinyalir akan membawa dampak pada dunia. Kenaikan suku bunga acuan AS bisa memicu terjadinya gelombang taper tantrum jilid 2. Taper tantrum pertama kali terjadi pada 2013 lalu. Saat itu, kenaikan suku bunga acuan AS mengakibatkan guncangan pada pasar modal dan nilai tukar rupiah. Saat ini, terjadinya taper tantrum 2.0 diyakini tidak akan membawa dampak tersebut karena beberapa faktor seperti posisi neraca transaksi berjalan dan cadangan devisa Indonesia sudah lebih baik.
Chief Investment Officer PT Sinarmas Asset Management Genta Wira Anjalu dalam Capital Market Outlook 2022 yang digelar CNBC Indonesia menyampaikan ada dua faktor kunci Indonesia menghadapi taper tantrum jilid 2. Pertama, cadangan devisa Indonesia kini lebih baik dibanding posisi 2013. Kemudian dari sisi porsi kepemilikan asing di pasar obligasi pada tahun ini hanya sebesar 19% tidak sebesar posisi 2013 lalu yaitu 40%.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas Mino menyebut kondisi Indonesia pada 2013 dan tahun ini jauh berbeda, terutama dari sisi bantalan cadangan devisa dan inflasi yang masih cukup rendah. Dia menjelaskan, dari sisi makroekonomi Indonesia berbanding terbalik dibanding 2013. Current account deficit (CAD) defisit Indonesia dulu cukup besar dan cadangan devisa hanya cukup 5 bulan. Sekarang, hingga kuartal III/2021 CAD surplus 1,5% dari GDP. Ini adalah angka yang cukup baik. Sementara cadangan devisa dalam rentang tinggi atau setara 8 bulan untuk impor dan pembayaran utang. Ada dua hal yang bisa menjadi bumper menghadapi taper tantrum dari ekternal dan terkait dengan suku bunga (The Fed) di ekstra naik tinggi itu kaitan dengan inflasi. Inflasi di Indonesia masih rendah sehingga suku bunga positif berbeda dengan Eropa, AS dengan suku bunga yang riil minus.