Aturan Impor Masih Menimbulkan Keluhan dari Berbagai Kalangan Pengusaha

Kebijakan impor yang tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 Tahun 2023 yang telah berubah menjadi Permendag No. 3 Tahun 2024 masih menimbulkan keluhan dari kalangan pengusaha. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengaku beleid terbaru ini membuat para produsen sepatu lokal kesulitan mengimpor sampel sepatu karena harus melalui rekomendasi dari pemerintah dengan mekanisme larangan dan pembatasan (lartas) biasa. Artinya ada prosedur yang lebih rumit untuk sekadar impor sampel produk. Padahal, sampel sepatu menjadi kunci utama bagi pihak produsen untuk dapat memperoleh pesanan ke pasar ekspor. “Kalau kirim sampel dari luar negeri saja dipersulit, ujung-ujungnya pemerintah malah menghambat laju ekspor untuk peningkatan devisa negara,” kata Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri. Biasanya, para produsen alas kaki mengimpor sampel sepatu dalam jumlah terbatas sekitar 20–25 pasang. Karena jumlahnya kecil, umumnya impor sampel tersebut dilakukan melalui mekanisme pengiriman paket yang tentu tetap dikenakan pajak, bea masuk, dan biaya lain-lain.

Aprisindo juga menemukan kasus pebisnis alas kaki yang kesulitan memesan kain untuk kebutuhan produksinya. Usut punya usut, pihak produsen kain ternyata ikut terdampak pengetatan impor bahan baku kain, sehingga mereka tidak bisa menyelesaikan pesanan kain untuk pelanggan di industri alas kaki. Ada pula kasus sejumlah merek alas kaki lokal yang kesulitan memesan bahan baku yang sesuai kebutuhan mereka. Padahal, produsen tersebut sedang berusaha mengamankan stok jelang musim libur Lebaran 2024. Akhirnya ada produsen yang memilih impor dalam bentuk produk jadi. Bahkan menurut Aprisindo, keberadaan Permendag 36/2023 justru membuat para pengusaha alas kaki tidak pernah mendapat kepastian berapa banyak permohonan impor bahan baku yang akan disetujui pemerintah. Sebab, prosedur perhitungan kuotanya tidak jelas dan cenderung gelap, sehingga persetujuan impor banyak dipengaruhi oleh unsur diskresi.

Indonesia Packaging Federation (IPF) juga mengeluhkan Permendag 36/2023 yang dinilai tidak ada harmonisasi Harmonized System (HS) Code impor bahan baku. Alhasil, banyak material yang sejatinya belum diproduksi di dalam negeri dan harus diimpor justru menjadi bermasalah. Dengan demikian, aturan tersebut harus dikaji ulang secara menyeluruh. “Jika dipaksakan, Permendag ini hanya akan membebani biaya produksi kemasan dan juga produk yang dikemas, sehingga pada akhirnya konsumen juga terbebani,” tutur Business Development Director IPF Ariana Susanti.

Search