Otoritas Jasa Keuangan (OJK) buka suara soal wewenang sebagai penyidik tunggal kasus kejahatan sektor keuangan. Ketentuan itu diatur dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menegaskan pihaknya akan mengikuti putusan undang-undang tersebut.
Mahendra menambahkan penyidik yang ditentukan dalam UU PPSK terdiri atas pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu, dan pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Kewenangan baru OJK sebagai penyidik tunggal kejahatan sektor keuangan termaktub dalam UU PPSK pasal 49 ayat 3 yang menyatakan OJK sebagai penyidik tunggal. Artinya, selain sebagai regulator dan pengawas, OJK juga bertugas sebagai instansi tunggal yang melakukan penyidikan.
Namun, ketentuan itu menuai kritik dari para pengamat. Pengamat Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro mengingatkan tiga risiko bahaya jika OJK diberi kewenangan sebagai penyidik tunggal kasus kejahatan sektor keuangan. Pertama, potensi konflik kepentingan yang sangat besar. Castro mempertanyakan bagaimana jika terduga pelaku justru berasal dari internal OJK. Karena itu, menurutnya, aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus tetap dilibatkan dan diberikan kewenangan serupa. Kedua, OJK akan cenderung pilah-pilih kasus alias cherry picking, di mana penanganan perkara oleh penyidik OJK bergantung kepada kepentingan lembaga dan pejabatnya semata. Ketiga, potensi abuse of power yang akan sangat besar. Ia menilai tidak menutup kemungkinan kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal ini akan membuka ruang transaksi jual-beli perkara.