Industri alas kaki nasional masih menghadapi tantangan berat pada 2024. Salah satu imbas lesunya industri alas kaki dalam negeri adalah penutupan pabrik PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta, Jawa Barat, akhir April lalu. Manajemen BATA disebut telah melakukan berbagai upaya dalam empat tahun terakhir di tengah kerugian dan tantangan industri akibat pandemi Covid-19 dan perubahan perilaku konsumen yang begitu cepat. Perusahaan ini tidak dapat melanjutkan produksi di pabrik Purwakarta karena permintaan konsumen terus menurun dan kapasitas pabrik jauh melebihi kebutuhan yang bisa diperoleh secara berkelanjutan dari pemasok lokal di Indonesia. Keputusan ini merupakan hal terbaik yang dapat diambil berdasarkan evaluasi menyeluruh dan kesepakatan pihak-pihak terkait dengan tujuan mengefektifkan operasional BATA.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakri berpendapat, penutupan pabrik BATA yang telah berdiri sejak 1994 ini mencerminkan kondisi umum industri alas kaki yang belum benar-benar pulih sejak pandemi Covid-19. Bahkan, momen Lebaran 2024 belum begitu berkah bagi merek-merek alas kaki segmen menengah dan menengah ke bawah, karena mereka mengalami penurunan penjualan dibandingkan tahun sebelumnya. Aprisindo menjelaskan, salah satu tantangan berat industri alas kaki nasional adalah kebijakan bea masuk tambahan melalui instrumen safeguard yang dikenakan pada bahan baku berupa tekstil atau kain sepanjang 2019–2022. Alhasil, biaya produksi industri alas kaki melonjak.
Meski safeguard tidak dilanjutkan pada 2023, permohonan izin impor bahan baku alas kaki sempat tertunda lama. Sebab, pabrik-pabrik yang melakukan importasi harus diverifikasi oleh pihak ketiga yang ditunjuk Kementerian Perindustrian. Belum lagi, pemerintah merilis Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang telah berubah dua kali. Dalam beleid tersebut, impor bahan baku alas kaki dikenakan larangan dan pembatasan (lartas) maksimal yang mana pengimpor wajib memiliki Persetujuan Impor (PI), Laporan Surveyor (LS), dan Pertimbangan Teknis (Pertek). Proses administrasi ini pun bisa memakan waktu lama dan belum tentu transparan. “Industri alas kaki memiliki lebih dari 100 harmonized systems (HS) terkait bahan bakunya, yang mana 70% di antaranya dikenakan lartas maksimal,” ungkap Firman, Senin (6/5). Dengan adanya pembatasan impor bahan baku, tentu para produsen alas kaki lokal kesulitan bersaing dengan produk impor ilegal. Ujung-ujungnya, kinerja industri alas kaki sulit kembali seperti masa sebelum pandemi.