Bank Indonesia (BI) optimistis, neraca perdagangan Indonesia pada 2023 masih mencetak surplus di tengah ketidakpastian global. Meski surplus, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengungkapkan surplus neraca perdagangan akan lebih rendah dari capaian tahun 2021 dan 2022. Surplus neraca perdagangan Indonesia di sepanjang 2021 mencapai US$ 35,34 miliar. Sedangkan surplus neraca perdagangan dari Januari 2022 hingga Oktober 2022 sudah tercatat US$ 45,52 miliar. Dody menjelaskan, perlambatan surplus neraca perdagangan pada tahun 2023 didorong oleh potensi ekspor yang melambat. Ini karena menurunnya permintaan global.
BI memperkirakan pertumbuhan ekspor pada tahun 2023 tumbuh positif di kisaran 6,0% hingga 6,8% secara tahunan. Ini lebih rendah dari pertumbuhan ekspor pada keseluruhan tahun 2021 yang sebesar 14,9% hingga 15,7%. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) juga pernah mengingatkan ada potensi penurunan kinerja ekspor Indonesia pada tahun depan karena ketidakpastian global dan berbagai situasi di negara mitra dagang. Jokowi mengambil contoh, perpanjangan kebijakan Zero Covid di China sehingga lockdown di negara tirai bambu diperpanjang hingga 6 bulan ke depan. Ini tentu menyendat permintaan dari negara tersebut. Apalagi, China merupakan negara mitra dagang terbesar Indonesia. Hingga akhir Oktober 2022, ekspor non migas ke China memegang pangsa 26,65% dari total ekspor non migas Indonesia pada bulan laporan.
Selain dinamika yang terjadi di China, ekspor Indonesia pada tahun depan juga akan terpengaruh dengan potensi resesi Amerika Serikat (AS) maupun negara-negara di Uni Eropa. Padahal, keduanya juga merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Per akhir Oktober 2022, pangsa ekspor non migas ke negara Paman Sam tercatat 8,83% dari total ekspor, sedangkan porsi ekspor non migas ke Uni Eropa tercatat 7,74% dari total ekspor non migas pada bulan laporan.