Bank Indonesia (BI) terus berjibaku menjaga stabilitas rupiah seiring dengan tren penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan aliran keluar modal asing (capital outflow) yang kian deras. Pelemahan mata uang Garuda bakal berimpak besar baik di pasar keuangan, juga pada ekonomi makro. Dolar AS yang terus menguat mendorong kenaikan biaya produksi akibat importasi bahan baku dan penolong yang makin mahal.
Ongkos produksi yang tinggi akan bermuara pada terkereknya harga jual barang di tingkat konsumen sehingga memicu lesatan inflasi yang saat ini tengah diperangi oleh BI. Sementara itu, implementasi Local Currency Settlement (LCS) atau penggunaan mata uang lokal dalam setiap transaksi, belum terlalu signifikan mengingat jumlah negara yang menjalin kemitraan dengan Indonesia masih terbatas. Alhasil, dolar AS mendominasi setiap transaksi.
Bank sentral telah melakukan serangkaian aksi untuk mempertebal proteksi rupiah. Salah satunya dengan melakukan intervensi di pasar Surat Berharga Negara (SBN). “Stabilisasi rupiah memang tidak hanya lewat intervensi spot, juga lewat intervensi DNDF, dan pembelian/penjualan SBN,” kata Direktur Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Wahyu Agung Nugroho. BI juga telah melakukan operation twist untuk menjaga stabilitas pasar keuangan sehingga nilai tukar rupiah terjaga. Operation twist adalah skema penjualan SBN bertenor pendek oleh BI yang kemudian membeli SBN tenor panjang. Penjualan SBN bertenor pendek dilakukan dengan tujuan merangsang masuknya aliran modal asing atau capital inflow di pasar keuangan. Adapun, pembelian SBN tenor panjang mampu menjaga yield lebih terkendali.
Operation twist tersebut amat krusial, mengingat efek dari pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral terhadap stabilitas keuangan nasional, sangat besar. Pengetatan itu dipicu oleh tingkat inflasi yang cukup tinggi, terutama di AS, Eropa, dan Inggris. Sehingga, otoritas moneter mengerek suku bunga acuan guna meredam laju indeks harga konsumen (IHK).
Langkah tersebut mendorong perpindahan dana investasi dari pasar berkembang ke AS, karena dinilai lebih mampu memberikan imbal hasil lebih tinggi. Capital ouflow kemudian menimbulkan risiko pelemahan nilai tukar rupiah, sehingga dibutuhkan intervensi lebih kuat dari otoritas moneter melalui operation twist.
Intervensi rupiah yang dilakukan oleh otoritas moneter pun bakal menggerus cadangan devisa yang sejatinya telah terpangkas dalam dua bulan terakhir. Akan tetapi, Wahyu menegaskan bahwa posisi cadangan devisa masih cukup aman untuk mengakomodasi sekitar enam bulan impor dan pembayaran utang pemerintah.