Kobaran besar api yang melalap Museum Nasional Indonesia (MNI) atau dikenal Museum Gajah memicu pertanyaan bagaimana pengamanan benda-benda bersejarah yang ada di museum itu setelah kebakaran terjadi. Peristiwa nahas ini menjadi cerminan bahwa perlindungan terhadap benda bersejarah sangat rentan, bahkan sepertinya dipandang sebelah mata. Warisan peradaban bangsa yang berulang kali terancam kelestariannya ini, kini rusak karena kelalaian di tempat yang semestinya paling aman, yakni museum. Pihak Museum Nasional mengatakan koleksi yang terdampak insiden kebakaran pada Sabtu (16/9) sebagian merupakan replika prasejarah. Ada 6 ruangan di Gedung A yang terdampak, sedangkan 15 ruangan lainnya di gedung A serta ruangan pamer gedung B dan C sama sekali tidak terdampak. Koleksi yang terdampak kebakaran di museum hanyalah replika, sementara sisanya dalam keadaan aman. Untungnya, benda bersejarah hasil repatriasi dari Belanda tidak terdampak kebakaran. Sebab, koleksi itu disimpan di lokasi yang jauh dari pusat kebakaran. Persoalan buruknya sistem perlindungan museum ini tidak hanya dialami museum nasional, tetapi juga museum lainnya di seantero negeri. Tidak terawat, rentan pencurian, hingga ancaman insiden kebakaran seperti yang menimpa museum nasional. Kasus pencurian museum, setidaknya ada sebelas kasus pencurian koleksi museum dalam rentang 2010-2020.
Pada 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh memerintahkan duplikasi koleksi setelah empat artefak emas berusia 1000 tahun dicuri dari Museum Nasional. Kasus pencurian museum paling parah pada 2021 di Museum Negeri di ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. Diperkirakan 500 benda bersejarah hilang dari ruang penyimpanan. Kebanyakan benda yang dicuri adalah bagian dari jenis koleksi etnologi budaya masyarakat Sulawesi Tenggara.Bahkan, jika melongok ke empat dekade silam, insiden pencurian yang paling fenomenal terjadi pada 1961 ketika kelompok bandit pimpinan Kusni Kasdut memboyong sejumlah koleksi emas dan permata dari Museum Nasional, museum terbesar di Asia Tenggara. Kemudian pencurian koleksi uang logam pada 1979, disusul pencurian koleksi keramik senilai Rp1,5 miliar. Aksi pembobolan lainnya yakni dicurinya lukisan Basoeki Abdullah, Raden Saleh, dan Affandi pada 1996. Juga pada 2013, empat koleksi emas raib.
Mirisnya, beberapa kasus pencurian tersebut belum terpecahkan hingga kini. Untuk itulah, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap aspek perlindungan kelestarian warisan sejarah bangsa ini. Jadikan museum tempat teraman bagi peninggalan peradaban panjang nusantara. Insiden ini semestinya juga menjadi momentum untuk merevitalisasi eksistensi museum. Museum bukan tempat menyimpan benda-benda tua belaka. Lebih dari itu, museum merupakan tempat menyimpan harta karun yang tidak ternilai warisan dari nenek moyang. Semua yang tersimpan di dalam museum merupakan cermin peradaban suatu bangsa yang menjadi fondasi untuk menjadi bangsa besar. Merawat museum sebagai tempat yang menyimpan serta mengarsipkan bukti-bukti sejarah dan peninggalan masa lampau bangsa Indonesia.Bahkan, revitalisasi museum mestinya juga menjadi prioritas pemerintah, agar mampu menjadi sumber pendidikan untuk menumbuhkan wawasan kebangsaan generasi penerus. Pengelolaan museum harus mengikuti perkembangan zaman, harus menarik dan inovatif. Penyelidikan kasus kebakaran Museum Gajah harus tuntas. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Harus jelas siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran yang menyita perhatian publik tersebut. Pengelolaan museum jangan asal-asalan, karena merawat museum sama dengan menjaga jati diri bangsa.