Inflasi di tingkat produsen tercatat sudah melampaui inflasi konsumen yang pada Juli 2022 mencapai 4,94 person secara tahunan. Beban biaya produksi yang meningkat itu berpotensi mendorong kenaikan harga produk di pasaran dalam waktu dekat dan dapat semakin mendorong inflasi.
Berdasarkan data BPS, indeks harga produsen (IHP) gabungan tiga sektor, yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri pengolahan pada triwulan 11-2022 mencapai 165,80, naik dari IHP triwulan 11-2021 yang sebesar 148,34. Artinya, inflasi di tingkat produsen pada triwulan 11-2022 secara tahunan sudah mencapai 11,77 persen, jauh me- lampui inflasi di konsumen yang pada Juli 2022 mencapai 4,94 persen.
Inflasi produsen tertinggi terdapat di sektor makanan dan minuman, yaitu industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buah, sayuran, serta minyak dan lemak, yakni 10,16 persen secara tahunan. Selain itu, industri kertas, barang dari kertas dan cetakan (9,29 persen), industri pengilangan minyak bumi dan gas (8,55 persen), industri pupuk (7,41 persen), dan industri logam dasar (6,97 persen).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman, mengatakan saat ini beberapa produsen mulai menaikkan harga produk jadi di pasaran karena tak kuat menahan kenaikan biaya produksi yang terjadi sejak pandemi Covid-19.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, berdasarkan analisis CORE, inflasi pada akhir 2022 sebesar 5-6 persen, dengan catatan harga bahan bakar minyak tidak naik serta produsen tidak mentransmisikan biaya produksi sepenuhnya ke konsumen.
Guna mencegah hal itu, pelaku industri memerlukan insentif di komponen biaya input lain yang bisa menyeimbangkan tingginya kenaikan biaya produksi, seperti di sisi biaya energi. Menurut Adhi, ada dua bentuk dukungan yang dibutuhkan sektor makanan minuman. Pertama, insentif fiskal berupa penurunan bea masuk bahan baku impor dan keringanan pajak. Kedua, jaminan bahan baku alternatif dari industri lokal.