Pemenuhan permintaan energi seiring dengan pemulihan kegiatan ekonomi pascapandemi ber- dampak pada menurunnya bauran energi terbarukan dalam bauran energi primer. Pada triwulan III-2O22, bauran energi terbarukan sebesar 10,4 persen atau turun dari triwulan III-2021 yang 11,5 persen. Padahal, pemerintah mematok target 23 persen pada 2025. Sementara itu, bauran batubara meningkat ke level tertinggi sebesar 43 persen yang membuat proses pencapaian target 23 persen pada 2025 tampaknya semakin sulit terwujud. Kemudian, puncak emisi juga akan terjadi pada 2030 jika tidak ada perubahan dalam bauran energi terbarukan, kata peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR) Handriyanti D Puspitarini dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 IESR yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (15/12/2022). Oleh karena itu, menurut Handriyanti, berbagai upaya mesti didorong dalam meningkatkan bauran energi terbarukan. Sederet peluang yang ada, seperti mekanisme transisi energi dan Just Energy Transition Partnership yang diluncurkan pada G20 di Bali, November lalu, perlu diman- faatkan. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pe- nyediaan Tenaga Listrik juga memerlukan aturan turunan.
Dalam acara yang sama, Direktur Panas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris menuturkan, target bauran energi terbarukan dalam energi primer yang ada sekarang merujuk pada Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014. Namun, dalam implementasinya ada dinamika. Misalnya, PDB yang diproyeksikan tumbuh 6-7 persen, bahkan ada yang 8 persen, tidak teijadi. Tentu akan memengaruhi pencapaian demand dan supply. Karena itu, dengan selisih yang ada, tentu harus dilakukan evaluasi. Dalam aturan juga dibolehkan untuk direvisi (target tersebut), ujar Harris.