Situasi ekonomi Indonesia menurut catatan sejumlah pihak masih terbilang kondusif di tengah beratnya tantangan ekonomi global. Pemerintah, legislator, hingga kalangan ekonom melihat, aktivitas ekonomi di Indonesia masih terbilang berdaya tahan di tengah tak kondusifnya aktivitas ekonomi global. Berbagai negara sebetulnya terancam risiko resesi yang tinggi saat ini, dipicu oleh perang tarif yang dimotori Presiden Amerika Serikat (Donald Trump). Seperti diketahui, Trump telah memberlakukan tarif bea masuk yang lebih tinggi kepada sejumlah negara mitra dagangnya, seperti Kanada, Meksiko, China, serta Uni Eropa.
Alhasil, alarm resesi sejumlah negara meningkat.
Tapi, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan Indonesia tetap berada dalam posisi yang baik. Ia mengutip data Bloomberg pada Februari 2025, yang menunjukkan probabilitas resesi Indonesia kurang dari 5%, jauh lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Meksiko (38%), Kanada (35%), dan Amerika Serikat (25%). “Dengan pondasi ekonomi nasional yang solid, diversifikasi mitra dagang, serta hilirisasi yang terus diperkuat, Indonesia berpeluang besar menjaga stabilitas dan daya saingnya di tengah gejolak ini,” kata Airlangga, dikutip Senin (24/3/2025). Tapi per Februari 2025 lalu, atau tepatnya sebulan sebelum Bulan Ramadan, justru terjadi deflasi sebesar 0,09%, setelah 25 tahun terakhir tak pernah ada catatan deflasi tahunan karena terakhir pada Maret 2000 sebesar 1,10%. Permasalahan ini di tambah dengan data anjloknya impor barang konsumsi jelang Ramadan dan Lebaran. Total impor barang konsumsi per Februari 2025 hanya sebesar US$ 1,47 miliar, atau merosot 10,61% (mtm) dibanding data per Januari 2025 yang sebesar US$ 1,64%. Dibanding Februari 2024 yang senilai US$ 1,86 miliar malah merosot lebih dalam, yaitu 21,05% (yoy).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan impor barang konsumsi ini sejalan dengan kondisi deflasi bahan makanan sebesar -0,7% secara bulanan atau month to month (mtm). Kondisi itu menandakan daya beli masyarakat sangat rendah, sehingga permintaan barang sangat minim di dalam negeri. Tak adanya permintaan membuat harga-harga barang turun, bahkan tak perlu dipenuhi dari impor. “Artinya terkonfirmasi memang daya beli masyarakat sedang rendah sehingga permintaan impor turun, harga makanan minuman secara umum juga turun,” kata Bhima. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga menyatakan hal yang serupa. Ia mengatakan, merosotnya impor barang konsumsi menjelang periode musiman seperti Hari Besar Keagamaan merupakan bentuk nyata tengah ambruknya daya beli warga RI. Ia berpendapat, daya beli masyarakat tengah bermasalah karena memang dari sisi pendapatan atau income riil tengah menurun, disebabkan dampak PHK yang terus menerus terjadi di berbagai sektor usaha.
Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan deflasi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun ini bukan karena banyaknya permasalahan pemutusan hubungan kerja atau PHK, dan daya beli masyarakat yang melemah. Sri Mulyani memastikan kondisi itu tidak bisa menjadi cerminan Indonesia sedang dalam situasi yang menuju krisis. Ia bilang Indonesia saat ini masih dalam situasi normal, sebab deflasi terjadi karena upaya menurunkan harga-harga yang diatur pemerintah, bukan karena daya beli masyarakat melorot. “Jadi kalau deflasi itu karena administered prices yang turun, bukan krisis. Ya bukan krisis kan karena memang didesain turun,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN di kantornya.
Terlepas dari itu, bila merujuk pada Economic Experts Survey yang diriilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), mayoritas ahli, yaitu 23 ahli dari 42 ahli atau 55% responden, setuju bahwa kondisi ekonomi saat ini telah memburuk dibandingkan dengan tiga bulan yang lalu. “Tujuh ahli bahkan menganggap situasi ini jauh lebih buruk, sementara 11 ahli menganggapnya stagnan, dan hanya satu ahli yang melihatnya lebih baik. Dengan interval kepercayaan rata-rata sebesar 7,71 poin, hasil survei ini menunjukkan pandangan yang umumnya pesimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia, menurut para ahli ekonomi,” tulis LPEM UI dalam laporannya.