Dalam dua kali krisis yang melanda, baik 1998 dan 2008, perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap krisis karena tidak adanya bantalan yang cukup. Untungnya, Indonesia kala itu memiliki sumber daya alam sebagai sumber dalam negeri dan ekspor. Pasar keuangan Indonesia juga tidak terlalu terbuka dari arus modal dari luar negeri. Indonesia juga memiliki basis UMKM dan konsumen domestik yang luas sebagai penyangga perekonomian.
Saat ini, kondisi dan struktur perekonomian Indonesia belum banyak berubah. Masih bertumpu pada sumber daya alam dan konsumsi domestik sebagai basis. Ekspose ke luar negeri baik perdagangan maupun keuangan masih terbatas. Bedanya adalah bahwa saat ini pengelolaan kebijakan makro Indonesia jauh lebih baik dari sebelumnya. Kebijakan moneter sudah cukup adaptif dan responsif pada perekonomian global. Bank Indonesia selalu berada di radar perekonomian dunia dan memastikan perbedaan (spread) suku bunga antara suku bunga domestik dan luar negeri terjaga. Arus modal keluar terus dijaga dan arus modal masuk dibuka seluas-luasnya dengan instrumen-instrumen investasi yang menarik. Inflasi, meskipun terpengaruh, terus dijaga dalam sasaran jangka panjang 3 persen plus minus 1 persen. Nilai tukar relatif stabil dengan cadangan devisi yang cukup untuk membiayai kebutuhan impor dan pembayaran luar negeri. Kebijakan fiskal juga terus dijaga keberlanjutannya. Defisit terus dijaga pada kisaran 3 persen dari PDB. Meskipun demikian, APBN Indonesia tetap dapat menjadi shock absorber dan tidak masalah apbila defisit melonjak di atas 3 persen. Penerimaan pajak dan PNBP Indonesia sempat terseok karena Covid-19 saat ini bangkit dengan capaian di atas target tahun 2022.
MASIH soal ancaman krisis global 2023. Prediksi mengenai krisis global tahun 2023 memang belum pasti sedalam apa. Konsensus mengatakan dunia akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dibanding tahun 2022. Bahkan IMF mengatakan bahwa sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi. Apapun yang akan terjadi, sedalam apapun kondisi krisis, diyakini bahwa tahun 2023 akan lebih berat dibandingkan tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi akan lebih lambat. Inflasi belum akan menurun. Perdagangan dunia masih terdisrupsi. Covid-19 belum sepenuhnya pergi, khususnya di China. PHK deras mulai terjadi, tidak hanya di sektor yang paling luar seperti properti, manufaktur dan perdagangan, namun merembet ke sektor yang selama ini kuat menahan krisis seperti pertanian, UMKM, dan jasa. Negara yang memiliki bantalan kuat akan dapat menjadi tameng bagi serangan krisis global. Bantalan itu biasanya berupa kecukupan cadangan devisa, kedalaman keuangan, kesehatan bank, dana cadangan fiskal dan diversifikasi perdagangan serta keragaman pasar.
Banyak negara yang jatuh ke lubang resesi dalam karena tidak memiliki bantalan penyangga yang kuat. Cirinya adalah negara yang terbuka atas arus barang, jasa, dan keuangan luas, namun tidak dibangun ketahanan ekonomi dalam negeri. Mereka yang tidak memiliki sumber daya alam terutama energi akan menjadi konsumen produk energi sehingga bisa jatuh ke lubang resesi apabila tidak melakukan diversifikasi. Negara yang memiliki ekposes investasi portolio asing rentan kepada capital outflow dan depresiasi nilai tukar serta imported inflation apabila tidak dikendalikan. Negara yang juga akan terkena krisis dalam adalah net importir energi dan pangan. Termasuk apabila negara yang mengalami defisit neraca perdagangan akan lebih mudah terserang krisis ekonomi yang berasal dari luar.