Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia ingin fasilitas pengolahan komoditas tambang atau smelter di Indonesia menggunakan energi baru terbarukan (EBT), tak lagi batu bara yang berbasis fosil. Pemerintah pun akan membuat peraturan terkait penggunaan energi baru terbarukan pada industri-industri di Indonesia, termasuk smelter. Ia mencontohkan seperti pada smelter nikel di Maluku Utara milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Fasilitas pemurnian nikel ini menyerap tenaga listrik mencapai 8-10 gigawatt (GW). Bahlil mengaku, pihaknya sudah berdiskusi dengan pengelola smelter tersebut untuk mulai mengganti tenaga listriknya dari berbasis baru bara ke solar panel pada 2025. Proses konversi ke energi terbarukan ini akan dilakukan secara bertahap. Puncaknya nanti di 2030, minimal 60-70 persen, mereka sudah bisa melakukan konversi memakai energi baru terbarukan. Selain itu, pemerintah juga menyasar smelter yang memproses nikel sampai ke produk turunan nickel pig iron (NPI). Industri ini diminta menggunakan EBT, minimal energi gas. Bahlil mengakui, konsekuensi dari peralihan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan adalah biayanya yang mahal. Terlebih untuk pembangunan pembangkit EBT memakan dana investasi yang besar. Namun, dia menilai biaya investasi yang mahal itu akan sejalan dengan peningkatan nilai produk yang diolah dari smelter berbasis tenaga EBT.