Amerika Serikat (AS) merancang pembagian wilayah Gaza dalam jangka panjang menjadi dua area, yakni “zona hijau” yang berada di bawah kendali militer Israel dan kekuatan internasional untuk memulai rekonstruksi, serta “zona merah” yang akan dibiarkan tetap hancur. Rencana tersebut tertuang dalam dokumen perencanaan militer AS yang dilihat The Guardian dan diperkuat oleh sumber yang mengetahui skema itu. Tahap awalnya, pasukan asing bakal dikerahkan bersama militer Israel di bagian timur Gaza, sehingga wilayah yang luluh lantak itu terbelah oleh “garis kuning” yang saat ini dikuasai Israel. Rencana ini memunculkan pertanyaan terkait komitmen Washington mendorong gencatan senjata.
Rencana untuk masa depan Gaza berubah sangat cepat. Perubahan ini mencerminkan langkah yang dinilai masih sporadis dalam menangani konflik yang kompleks, sekaligus memenuhi kebutuhan dua juta warga Palestina. Salah satu gagasan yang kini dibatalkan adalah pembangunan kamp-kamp berpagar untuk kelompok kecil warga Palestina, yang disebut alternative safe communities (ASC). Tanpa rencana yang jelas soal pasukan penjaga perdamaian internasional, penarikan militer Israel, dan rekonstruksi besar-besaran, Gaza berpotensi terjerumus dalam fase “bukan perang, bukan perdamaian”.
Pembentukan pasukan stabilisasi internasional atau International Stabilisation Force (ISF) masuk dalam rencana perdamaian 20 poin Trump. AS berharap rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk memberi mandat resmi kepada pasukan tersebut dapat disahkan pekan depan. Trump juga menegaskan bahwa ia tidak berniat mengerahkan pasukan AS ataupun membiayai rekonstruksi Gaza. Dokumen yang disusun komando regional AS, Centcom, menunjukkan rencana menempatkan ratusan tentara Inggris, Perancis, dan Jerman di inti pasukan ISF. Namun, satu sumber menyebut rencana tersebut “delusi” mengingat pengalaman panjang Eropa di Irak dan Afghanistan.
