Argentina tampaknya menjadi negara pertama yang tumbang akibat kekacauan global. Terpukul oleh dampak ekonomi pandemi Covid-19, penguatan kurs dolar Amerika Serikat (AS) atau kebijakan suku bunga tinggi AS, dan krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina. Inflasi negara penghasil gandum itu tak terkendali. Angkanya mencapai 78.5% pada Agustus, dan diperkirakan tembus 100% pada akhir tahun, menurut survei yang dilaksanakan bank sentral Argentina (Banco Central de la República Argentina/BCRA). Nilai mata uang peso Argentina atau ARS melemah lebih dari 47% sepanjang tahun ini, sebesar ARS 150 per dolar AS.
Saking sulitnya mendapatkan dolar AS-karena pembatasan oleh otoritas setempat-muncullah dollar blue atau blue dollar di sana. Ini adalah aktivitas penukaran mata uang ASR ke dolar AS di jalanan, ilegal, atau tidak teregulasi oleh bank sentral, tetapi diketahui dan dibiarkan. Blue dollar muncul akibat tingginya permintaan dolar AS dan ketidakpercayaan warga terhadap peso. Berbagai media melaporkan, ketidakpercayaan terhadap peso dan keterbatasan dolar AS membuat warga kini menggunakan sitem barter untuk bertransaksi kebutuhan pokok.
Namun, pemandangan kontras ada di pasar saham dimana indek utama seperti S&P Merval mencatatkan pertumbuhan yang cukup siginifikan, lebih dari 73% ke level 144645.33 sepanjang tahun ini. Argentina menjadi persis seperti Indonesia setelah krisis moneter 1997. Menggantungkan cadangan devisa dan pembiayaan negara dari lembaga donor, Dana Moneter Internasional (IMF). Akhir pekan lalu, Dewan Eksekutif IMF kembali menyetujui review kedua dari program fasilitas pembiayaan tambahan senilai US$44 miliar, tanpa meminta syarat pencairan apapun.