Apindo Sebut Pertumbuhan Ekonomi RI Tidak Berkualitas, Apa Alasannya?

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyayangkan tingginya capaian investasi tidak sejalan dengan penyerapan tenaga kerja yang ada. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas jika tidak dibarengi dengan serapan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonominya tinggi, investasinya tinggi tetapi tidak bisa memberikan lapangan kerja yang besar untuk rakyatnya. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi 2022 mencapai 5,31 persen. Pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dari capaian pra pandemi yang rata-rata sebesar 5 persen dan merupakan capaian tertinggi sejak 2014 silam.

Dari sisi investasi, Kementerian Investasi/BKPM mencatat realisasi investasi sepanjang 2022 mencapai Rp 1.207,2 triliun, tumbuh 34 persen dibandingkan capaian tahun 2021 sebesar Rp 901,02 triliun. Meski tumbuh gemilang, penyerapan tenaga kerja dari realisasi investasi tahun 2022 tercatat hanya 1,3 juta orang. “Investasi 2022 Rp 1.207 triliun. Itu naiknya luar biasa tetapi yang kita prihatin, penyerapannya cuma 1,3 juta orang. Artinya Rp 1 triliun menghasilkan (lapangan pekerjaan bagi) cuma 1.081 orang. Dibandingkan 9 tahun yang lalu, tahun 2013 pada waktu investasi hanya Rp 398 triliun, menciptakan 1,8 juta lapangan kerja atau Rp 1 triliun rasionya hampir 4.600 orang,” kata Hariyadi. Kondisi tersebut mencerminkan terjadinya pola industri yang padat modal atau capital intensive industry. Menurutnya, arah kebijakan sektor industri ke depan harus diubah agar bonus demografi yang selama ini diagung-agungkan tidak sia-sia. Di sisi lain, pekerjaan rumah (PR) lain yang harus dihadapi adalah masih tingginya pekerja dengan pendidikan rendah. Angkatan kerja 58 persen hanya tamatan SMP ke bawah. Ini PR kita bersama.

Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Bidang Transformasi Digital, Kreativitas dan Sumber Daya Manusia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Edwin mengakui dominasi low skill workers dengan latar belakang pendidikan SMP ke bawah pada angkatan kerja nasional merupakan salah satu tantangan dalam peningkatan kualitas SDM di Indonesia. Padahal, peningkatan kualitas dan daya saing SDM menjadi salah satu faktor krusial dalam mendorong transformasi ekonomi. Bahkan RPJMN 2020-2024 menempatkan SDM sebagai modal utama untuk menuju pembangunan yang inklusif dan merata di seluruh wilayah Indonesia. “Upaya peningkatan kualitas SDM bukanlah hal yang mudah. Masih terdapat sejumlah tantangan, seperti misalnya tadi sudah sampaikan yaitu dominasi low skill workers dengan latar belakang pendidikan SMP ke bawah pada angkatan kerja nasional kita,” katanya. Edwin juga menyoroti masih adanya skill mismatch antara lulusan lembaga pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja oleh industri. “Juga tantangan otomasi dan digitalisasi yang berpotensi menghapus banyak jabatan kerja,” kata Edwin.

Search