Pengamat mempertanyakan urgensi subsidi kendaraan listrik, mobil listrik maupun motor listrik, yang digagas pemerintah sebagai insentif untuk menurunkan emisi karbon CO2. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyebut subsidi mobil dan motor listrik tidak terlalu penting. “Apalagi, angkanya cukup besar. Tidak peka terhadap menyempitnya ruang fiskal,” ujar Bhima. Sasaran subsidi mobil listrik pun bermasalah karena cenderung mensubsidi kalangan menengah atas. Justru, Bhima memberikan catatan implikasi negatif yang mungkin timbul dari penyaluran subsidi mobil dan motor listrik. Pertama, meningkatkan barang dan suku cadang impor saat produsen di dalam negeri belum siap memenuhi permintaan pasar. Kedua, transisi energi tidak bisa dilakukan hanya dengan perbaikan oleh pengguna kendaraan. Ia juga menanyakan sumber hulu energi primer listrik yang masih bergantung pada batu bara. Bila pengguna motor listrik makin banyak, namun PLTU batu bara jalan terus, maka polusi udara akan tetap tinggi dan eksploitasi batu bara masih masih dilakukan. Karenanya, sebaiknya, subsidi dulu percepatan transisi energi primernya baru ke pengguna kendaraan. Secara khusus, Bhima juga menyoroti persoalan baterai listrik. Menurut dia, Indonesia sebagai eksportir nikel setengah jadi menghadapi impor baterai listrik. “Khawatirnya, di hilir motor listrik didorong, nanti defisit transaksi berjalan bisa melebar, ada efek ke pelemahan kurs rupiah,” terang Bhima.
Senada, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Tory Darmantoro mempertanyakan soal urgensi subsidi motor dan mobil listrik. Terlebih, Menteri Perindustrian (Menperin) menjelaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan skema subsidi Rp80 juta untuk pembelian mobil listrik baru dan Rp40 juta untuk mobil hybrid. Sementara itu, subsidi untuk pembelian motor listrik baru disiapkan sebesar Rp8 juta dan motor konversi bakal mendapatkan subsidi Rp5 juta. “Kebijakan yang juga penting disampaikan pemerintah, angkanya, adalah berapa jumlah unit kendaraan yang mau disubsidi, sehingga masyarakat dan industri otomotif bisa berhitung kemanfaatannya,” tegas Darmantoro.
Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna punya pendapat berbeda. Ia mendukung subsidi motor dan mobil listrik dengan beberapa catatan. Yayat meminta pemerintah juga memberikan kemudahan lain, seperti parkir gratis, bisa masuk kawasan ganjil-genap, pengurangan pajak, hingga fasilitas pemasangan charger listrik gratis. Kemudian, perlu dibangun stasiun pengisian kendaraan listrik (SPKL) di setiap kota agar tidak ada keraguan bagi masyarakat untuk melakukan perjalanan lintas kota. Meski mendukung program subsidi, Yayat menekankan pemerintah perlu buka-bukaan soal berapa jumlah kendaraan listrik yang diproduksi. Hal itu mempengaruhi besaran subsidi yang diberikan. “Angka subsidi akan sangat bergantung berapa target jumlah kendaraan yang diproduksi. Jadi setiap tahun berapa, mobil atau motor pada 2023, kemudian 2024 berapa? Jadi jumlah subsidi tergantung jumlah kendaraan yang diproduksi,” pungkasnya.