DPR mendesak pemerintah agar memiliki regulasi yang mengatur keamanan dan ketahanan siber (KKS) agar ada sanksi dan efek jera bagi penjahat siber. Anggota Komisi I DPR Sukamta menyebut bahwa kasus kebocoran data pribadi ASN yang terjadi kemarin telah memperpanjang sejarah bocornya data pribadi Indonesia ke tangan peretas. Dia menilai bahwa kasus kebocoran data sudah sering terjadi. Namun sayangnya, menurut Sukamta, belum ada penegakan hukum terhadap para pelaku kejahatan siber. “Kebocoran data sudah sering terjadi, tapi kita belum bisa menegakkan hukum tentang pelindungan data, karena lembaganya belum ada,” tuturnya di Jakarta, Senin (12/8/2024).
Maka dari itu, Sukamta mendesak pihak pemerintah untuk membentuk lembaga atau Otoritas Pelindungan Data Pribadi (OPDP) sebagaimana amanat UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Sukamta menilai peraturan itu sangat penting mengingat dalam kurun waktu berdekatan Indonesia terus mengalami kebocoran data. “Aturan itu penting karena semakin banyak kasus kebocoran data dan juga karena tenggat waktu ketentuan peralihan yang diberikan oleh UU PDP selama 2 tahun sejak UU tersebut disahkan 17 oktober 2022. Jadi artinya, waktu kita tinggal 2 bulan untuk membentuk lembaga tersebut,” katanya.
Sebelumnya, data ASN yang telah diretas tersebut diketahui ditawarkan peretas di BreachForums, sebuah forum jual-beli hasil peretasan, seharga US$ 10.000 atau sekitar Rp 160 juta. Peretas mengklaim pihaknya mendapatkan data dari BKN sejumlah 4.759.218 baris. Data itu berisi tempat dan tanggal lahir, gelar, tanggal Calon Pegawai Negeri Sipil (SK CPNS), tanggal PNS, Nomor Induk Pegawai Negeri Sipil (NIP), Nomor Surat Keputusan, Nomor Surat PNS, golongan, jabatan, instansi, alamat, nomor identitas, nomor telepon, email, pendidikan, jurusan, tahun lulus.