Anak-anak Ditarget Jadi Teroris: Bermula dari Broken Home, Direkrut via Game Online

Polri mengungkap pola baru perekrutan anak-anak dan pelajar ke dalam jaringan terorisme yang memanfaatkan ruang digital, mulai dari media sosial hingga game online. Berdasarkan asesmen Polri, faktor psikologis dan sosial anak juga memengaruhi proses perekrutan, misalnya anak-anak yang kurang perhatian orangtua atau berasal dari keluarga broken home. “Modus rekrutmen anak dan pelajar dengan memanfaatkan ruang digital, termasuk diantaranya media sosial, game online, aplikasi perpesan instan dan situs-situs tertutup,” kata Karopenmas Polri Brigjen (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Dari hasil asesmen kerentanan, Polri menemukan sejumlah faktor yang membuat anak rentan direkrut kelompok teroris. Salah satunya, yakni anak korban perundungan (bullying) dan kurang perhatian orangtua atau berasal dari keluarga broken home. Menurut Trunoyudo, strategi perekrutan dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, propaganda disebarkan melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan sejumlah game online populer. Anak-anak yang dinilai potensial kemudian dihubungi melalui platform yang lebih privat dan sulit dilacak, seperti WhatsApp dan Telegram.

Hingga saat ini, lima orang perekrut yang berperan dalam menyebarkan paham radikal dan merekrut anak-anak telah ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Data Densus 88 menunjukkan, sejauh ini 110 anak berusia 10 hingga 18 tahun di 23 provinsi teridentifikasi sebagai korban perekrutan lima tersangka itu. Densus 88 menegaskan bahwa anak-anak yang direkrut jaringan teroris diperlakukan sebagai korban. Mereka kini berada dalam pendampingan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), Kementerian Sosial, serta berbagai pemangku kepentingan di pusat dan daerah.

Search