MENINGKATNYA aktivitas masyarakat sejak awal tahun, seiring makin terkendalinya kasus pasien positif Covid-19 membuat permintaan atau konsumsi bahan bakar minyak (BBM) meningkat tajam. Saat permintaan BBM dalam negeri terus meningkat, harga minyak mentah dunia juga melenting akibat konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Kondisi ini diperburuk oleh penguatan kurs dollar Amerika Serikat terhadap mata uang lain. Ini pula yang membakar harga minyak mentah dunia. Perpaduan lonjakan konsumsi, kenaikan harga minyak serta kurs, membuat nilai impor maupun volume BBM meloryak tajam. Apalagi, Indonesia menjadi net importer minyak. Ini pula yang membuat nilai impor terus naik dan mengikis surplus neraca perdagangan.
BPS mencatat, impor hasil minyak sepanjang Januari-Juli 2022 mencapai US$ 14,37 miliar, naik 97,71% dibanding periode sama tahun 2021. Volume impor hasil minyak pada periode tersebut naik 17,63% year on year (yoy) yoy.
“Impor hasil minyak ini termasuk untuk bahan bakar motor, pesawat atau avtur, bahan bakar diesel, dan lain-lain untuk tujuh bulan pertama tahun ini,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto. Selain itu, nilai impor gas dalam tujuh bulan pertama tahun ini US$ 3,12 miliar, naik 49,6% yoy. Secara volume tercatat 3,90 juta ton atau naik 4,92% yoy.
Catatan pemerintah, hingga akhir Juli 2022, konsumsi Pertalite sebagai jenis BBM khusus penugasan mencapai 16,8 juta kilo liter (kl). Alhasil, kuota hingga akhir tahun hanya tersisa 6,2 juta kl dari kuota awal yang telah ditetapkan di APBN 2022 sebesar 23 juta kilo liter. Adapun konsumsi solar subsidi mencapai 9,9 juta KL. Dengan begitu, sisa kuota hanya 5,01 juta KL hingga akhir tahun dari kuota awal yang ditetapkan sebesar 14,91 juta KL. Ini pula yang menjadi penyebab anggaran subsidi energi pada tahun ini membengkak hingga menjadi sekitar Rp 502 triliun.