Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan sekitar 80 hingga 90 persen lapangan minyak dan gas (migas) yang ada di Indonesia merupakan sumur tua. “Contohnya rokan itu (sudah) produksi sejak tahun 1940, saya aja belom lahir, tapi sekarang masih produksi, tapi (memangl produktivitasnya tentu berbeda ketika awal-awal lapangan itu produksi,” kata Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf Kamis (24/8/2023).
Namun demikian, meskipun hasil produksi yang telah menurun jika dibandingkan awal ditemukan masih ada beberapa hal yang menunjukan bahwa lapangan tersebut masih bisa menghasilkan atau memiliki nilai tambah secara ekonomi. “Makanya optimalisasi lebih penting disitu, kita masih bisa dapatkan produksi dengan biaya yang efisien, kira-kira begitu mindsetnya. Tapi untuk dapet lapangan lebih seger, daun muda, kita harus eksplorasi,” imbuhnya.
Diungkapkan Nanang, apabila pengembangan lapangan migas ini gerus mengalami penundaan, maka diperkirakan di tahun 2042, Indonesia hanya akan menjadi negara pengimpor net migas. Sementara itu, berdasarkan hasil riset dan analisis Rystad Energy, produksi gas alam dari lapangan-lapangan yang ada sekarang diperkirakan hanya berkontribusi sebesar 35% dari total produksi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam 20 tahun ke depan. Sementara 65% sisanya berasal dari produksi lapangan-lapangan gas baru. Beberapa lapangan migas yang masih dalam proses pengembangan di antaranya, Lapangan Andaman di lepas pantai Aceh, Lapangan Mako di kawasan Natuna, IDD Fase 2 (Gendalo dan Gendang) di Kalimantan Timur, Asap Kido Merah di Papua dan Lapangan Abadi, Masela di Maluku.