Sudan bergejolak sejak pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RFS) dan aparat keamanan bertempur memperebutkan kekuasaan sejak Sabtu (15/4). Perang ini meletus di tengah negosiasi faksi-faksi untuk membentuk pemerintahan transisi usai kudeta pecah di Sudan pada 2021. RSF mengklaim sudah menduduki Istana Kepresidenan Sudan, stasiun televisi lokal, hingga bandara di Khartoum dan kota lain. Namun, militer membantah klaim tersebut. Serbuan ini dilakukan sebagai balasan atas berbagai serangan militer Sudan terhadap markas RSF di selatan Khartoum baru-baru ini. Tak tinggal diam, Angkatan Udara Sudan melancarkan serangan udara ke sejumlah markas RFS di Ibu Kota Sudan, Khartoum.
Berdasarkan data Perserikatan Dokter Sudan per Senin, setidaknya 97 warga sipil tewas imbas pertempuran tersebut. Sejumlah personel militer juga dilaporkan tewas. Namun, sejauh ini angka pastinya belum diketahui. Menurut organisasi itu, data ini baru berdasarkan yang dihimpun dari bandara Khartoum, Kota Omdurman, Nyala El Obeid, dan El Fasher. Selain itu, sebanyak 365 orang mengalami luka-luka.
Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Food Program (WFP), menyatakan tiga staf mereka tewas di wilayah Darfur. WFP lantas menghentikan semua kegiatannya di Sudan karena insiden ini. Kementerian Luar Negeri RI menyatakan tak ada warga negara Indonesia (WNI) yang meninggal akibat perang itu. “Hingga saat ini, tidak ada WNI yang menjadi korban peristiwa dimaksud. Tercatat terdapat sekitar 1.209 WNI yang menetap di Sudan,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Judha Nugraha. Namun, KBRI Khartoum mengimbau WNI untuk tenang dan tetap di rumah menyusul perang yang berkecamuk di Sudan.