Dalam masa 100 hari kepemimpinannya, Prabowo menunjukkan komitmen terhadap politik bebas aktif dan gerakan non-blok, yang telah menjadi bagian dari identitas Indonesia sejak era demokrasi terpimpin hingga reformasi. Hal ini bisa terlihat dengan sejumlah manuver Prabowo di dunia internasional, mulai dari kunjungan kenegaraan, menghadiri beragam konferensi tingkat tinggi, dan bergabung ke aliansi ekonomi BRICS.
Pakar Hukum Internasional dari Fisipol Universitas Gadjah Mada, Poppy Sulistyaning Winanti, mengatakan, BRICS menjadi kelompok penting untuk membahas isu strategis global. Setelah Indonesia diakui dan menjadi anggota resmi BRICS, otomatis nilai tawar akan meningkat, khususnya di dunia barat. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai keanggotaan tetap Indonesia dalam BRICS sebagai hal yang menguntungkan. Wijayanto menuturkan, keanggotaan Indonesia di BRICS memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk ikut menentukan arah dan cetak biru organisasi tersebut ke depan, dan membuka peluang kerja sama di berbagai bidang, seperti teknologi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim antara Indonesia dan negara-negara BRICS.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai, masuknya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS bisa saja membawa sentimen anti-negara barat. Menurut dia, status anggota penuh BRICS juga cukup menunjukkan Indonesia bersikap menjauh dari pengaruh negara-negara barat seperti Amerika Serikat. Bhima menduga Indonesia juga bisa dikeluarkan dari Generalized System of Preferences (GSP). Program ini memberikan tarif rendah kepada negara berkembang untuk ekspor produk-produk tertentu ke negara-negara maju. Menurutnya, pendanaan untuk proyek kerja sama antara Indonesia dan AS juga bisa terhambat karena bergabung dengan BRICS.