Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) mendesak agar Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 berikut semua peraturan turunannya dicabut saat memperingati Hari Buruh Sedunia (May Day), Rabu (1/5). Presiden ASPEK Mirah Sumirat mengungkapkan tuntutan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, dampak buruk UU Cipta Kerja atau Ciptaker, khususnya kluster ketenagakerjaan, sudah mulai dirasakan oleh rakyat Indonesia. Menurut Mirah, pekerja Indonesia semakin miskin, karena beleid itu telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan juga jaminan sosial.
Selain itu, beleid itu juga membuat penetapan upah minimum yang tidak lagi melibatkan unsur tripartit dan kenaikannya tidak memenuhi unsur kelayakan. UU Ciptaker, menurut Mirah, juga membuat sistem kerja outsourcing diperluas tanpa pembatasan jenis pekerjaan yang jelas. Kemudian, sistem kerja kontrak dapat dilakukan seumur hidup, tanpa kepastian status menjadi pekerja tetap. Ketentuan upah minimum sektoral provinsi dan kota/kabupaten juga hilang. Tak hanya itu, beleid tersebut juga memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui Penetapan Pengadilan.
Dampak negatif lainnya, UU Ciptaker mengurangi kompensasi PHK pesangon dan penghargaan masa kerja, serta mempermudah masuknya tenaga kerja asing (TKA), bahkan untuk semua jenis pekerjaan yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia. Selainitu, Mirah juga menuntut perlindungan hak berserikat di perusahaan. Pasalnya, masih banyak perusahaan yang anti terhadap keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dia juga mendorong pembenahan menyeluruh desk pidana perburuhan di kepolisian. Selanjutnya, Serikat Pekerja/Serikat Buruh meminta agar di tahun 2024 ini Pemerintah dan DPR mensahkan Rancangan Undang Undang Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah lama mangkrak di DPR RI untuk menjadi UU.