Bank Dunia menyatakan kendati ekonomi Indonesia sudah cukup bagus, tetapi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan Indonesia terus mengalami perlambatan. Senior Economist Bank Dunia, Alexandre Hugo Laure, dalam pertemuan dengan dunia usaha di Surabaya, Selasa (30/4), mengatakan pertumbuhan sektor manufaktur yang menjadi penyumbang utama ekonomi Indonesia jika dibandingkan dengan berbagai negara, maka pertumbuhannya terbilang cukup lambat, kalah dibanding Tiongkok, Meksiko, Mesir, Nigeria, bahkan dengan India.
Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh minimnya penelitian dan pengembangan serta rendahnya adaptasi teknologi dan inovasi yang dilakukan oleh industri besar di Indonesia. Pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan industri di Indonesia, lanjutnya, hanya sekitar sembilan persen, jauh tertinggal dibandingkan kompetitor. “Hanya sekitar lima persen perusahaan yang memperkenalkan inovasi, baik inovasi produk atau proses. Mengadopsi teknologi dan efisiensi energi juga sangat kecil di Indonesia dan hanya sedikit perusahaan yang mengadopsi praktik manajemen ramah lingkungan,” katanya.
Ketua Umum Kadin Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, mengatakan peningkatan kinerja bisa dilakukan dengan menguasai pasar dalam negeri karena saat ini pasar di luar negeri tengah melambat. Masalahnya, Indonesia masih memiliki tantangan melalui platform e-commerce, karena transaksi antara dua negara tidak lagi Business to Business (B to B), tetapi polanya sudah menjadi Business to Consumer (B to C). Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum pandemi selalu di kisaran 5 persen saja. Tertinggi pada 2018 sebesar 5,17 persen, dan setelah pandemi tertinggi di pada 2022 sebesar 5,31 persen. Tahun 2023, pertumbuhan ekonomi turun menjadi 5,05 persen, cenderung di bawah rata-rata pertumbuhan 2017-2019.