Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) semakin kewalahan menghadapi banjir produk baju baju ilegal di pasar domestik. Kondisi ini membuat kinerja industri kian terperosok sejak 2022. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Ian Syarif, mengatakan pihaknya mencatat nilai impor ilegal mencapai US$2,9 miliar per tahun. Nilai tersebut didapatkan dari selisih data impor RI dengan jumlah ekspor dari negara asal. “Nah US$2,9 miliar ini kalau kita kalikan dolar sekarang itu sekitar cukup banyak itu jumlahnya paling sekitar 3 juta pieces baju sehari,” kata Ian dalam Konferensi Pers terkait kondisi TPT Terkini dan Dukungan Industri TPT Atas Revisi Permendag No. 36 Tahun 2023, Senin (18/3/2024).
Namun, kini industri TPT dalam negeri mulai bernapas lega setelah setelah pengaturan impor border berlaku per 10 Maret 2024. Pasalnya, banjir produk impor ilegal dapat diadang lewat Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/2023. Ian menilai dengan adanya Permendag tersebut dapat menekan 50% total impor ilegal atau 1,5 juta pieces baju. Aturan ini juga dapat mengendalikan pasar dalam negeri dari serbuan banjir impor baju ilegal. “Saya rasa itu bisa menambah dampak PPN yang luar biasa. Kemudian kalau industri dalam negeri ada dampak tambahan penyerapan tenaga kerja,” tuturnya.
Menurut Ian, Permendag yang telah direvisi menjadi Permendag 3/2024 itu telah mengakomodir dan mereduksi risiko kerugian negara akibat hilangnya potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Senada, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan kebijakan tersebut telah menjawab keresahan industri yang selama ini merasa tidak adil dalam kegiatan berusaha. Redma mencontohkan, bisnis jasa titip (jastip) atau barang kiriman selama ini tidak membayar bea masuk maupun pajak sehingga harga jual lebih murah dan menurunkan daya saing industri.