Sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi mengumumkan hasil pemungutan suara Pemilu, masyarakat biasanya memantau quick count atau penghitungan cepat yang dilakukan lembaga survei yang terdaftar resmi di KPU. Hasil quick count akan memberikan gambaran kasar jumlah suara yang diperoleh paslon capres dan cawapres, caleg, cagub, cabub hingga parpol dalam sebuah pemilu. Namun, tidak mustahil ada hasil quick count salah satu atau beberapa lembaga yang jauh berbeda jika dibandingkan lembaga lainnya. Jika melihat fenomena ini, masyarakat patut mencurigai lembaga survei tersebut tidak menaati aturan KPU.
Dalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2022 ditegaskan bahwa lembaga survei yang menyelenggarakan quick count tidak diizinkan untuk mengubah data lapangan. Hal ini tertera dalam surat pernyataan oleh lembaga survei saat mendafyar ke KPU. “Tidak mengubah data lapangan dan/atau dalam pemrosesan data,” bunyi Pasal 17 ayat (4) huruf g. Dalam beleid yang sama juga diatur bahwa masyarakat bisa melaporkan dugaan pelanggaran tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sesuai dengan Pasal 23 ayat (1). “KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota memberikan sanksi kepada lembaga Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat yang terbukti melakukan pelanggaran etika,” bunyi Pasal 25 ayat (1).
Sanksi sebagaimana dimaksud pada aturan tersebut dapat berbentuk peringatan hingga pencabutan sertifikat terdaftar sebagai lembaga Survei atau Jajak Pendapat atau PenghitunganCepat dalam penyelenggaraan Pemilu atau Pemilihan. Namun, perlu juga digarisbawahi bahwa quick count bukanlah hasil akhir pemilu (real count) dari KPU, sehingga tidak dapat dijamin 100% keakuratannya. Namun, memang jika pengambilan sampel dilakukan dengan tepat, metode quick count bisa dipertanggungjawabkan akurasinya, karena rentang kesalahan (i) yang kecil.