Penetrasi PLTS Butuh Sistem yang Fleksibel dan Komprehensif

Penetrasi energi terbarukan variabel atau variable renewable energy (VRE) yang besar akan membuat konsep pembangkit baseload yang beroperasi secara berkesinambungan dengan kapasitas yang tinggi, menjadi tidak relevan. VRE mengacu pada pembangkit energi terbarukan dengan sumber yang intermitten seperti pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Hal tersebut disampaikan Analis Energi Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR) Pintoko Aji dalam media briefing peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 . Untuk meningkatkan penetrasi VRE, ketenagalistrikan Indonesia membutuhkan sistem yang lebih fleksibel dan responsif. Makna fleksibel berarti tingkat sistem ketenagalistrikan dapat menyesuaikan dengan beban dan sebagai reaksi variabilitas produksi listrik dari VRE. Untuk melakukannya diperlukan pendalaman materi untuk pembatasan kontraktual. “Misal perubahan kontrak (legal) dari menerima atau membayar (take-or-pay) ke menerima dan membayar (take-and-pay) dan insentif fleksibilitas,” tuturnya. Di satu sisi, tren pembangunan energi terbarukan di Indonesia cenderung melambat. Pada kuartal keempat 2023, pembangunannya hanya mencapai 0,97 gigawatt (GW) dari target 3,4 GW. IESR menilai, jika perlambatan berlanjut, Indonesia tidak akan mencapai puncak emisi karena stagnasi dekarbonisasi dari sektor daya saat sedangkan emisi sektor permintaan terus naik.

Langkah Indonesia untuk menurunkan emisi akan semakin sulit jika tidak disertai ambisi penurunan emisi yang tinggi dan komitmen politik yang kuat. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, IETO merupakan studi tahunan dari lembaga think tank tersebut untuk memantau perkembangan sekaligus memproyeksikan transisi energi di Indonesia. IETO kali ini, kata Fabby, lebih lengkap daripada versi-versi sebelumnya. Pasalnya, dalam IETO 2024, IESR tak hanya mengukur perkembangan transisi energi dari ketenagalistrikan, melainkan di sektor lain yakni industri, transportasi, dan bangunan. Menurutnya, Indonesia telah mengeluarkan rencana dan komitmen transisi energi dengan terbitnya beberapa kebijakan seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pembangunan energi terbarukan dan pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) oleh Dewan Energi Nasional. Namun implementasi untuk mempercepat transisi energi masih membutuhkan dukungan dari segi regulasi dan investasi. “Juga kajian terhadap kondisi enabling conditions dalam menentukan sukses tidaknya transisi energi,” ucap Fabby. Dia berujar, dibutuhkan empat faktor enabling conditions untuk menyukseskan transisi energi di Indonesia. Keempat faktor tersebut adalah kerangka kebijakan atau regulasi, dukungan pendanaan serta investasi, aplikasi teknologi, dan dukungan masyarakat.

Search