Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta, Arya Fernandes, mengatakan pola kampanye oleh aktor politik kini telah bergeser dari ruang publik ke ranah yang lebih privat. Selain personalisasi, media sosial jadi opsi yang lebih murah dan mampu menjangkau audiens lebih luas. Meskipun demikian, konten yang muncul masih jauh dari mendidik publik berpolitik. Menurut Arya, aktor politik hanya menampilkan sesuatu yang menyenangkan publik dan menggugah perasaan. Ini seperti konten joget-joget, keramahan, adab, dan puja-puji.
Anggota Tim Komandan Pemilih Muda, TKN Prabowo-Gibran, Zita Anjani, mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan sesuai gaya anak muda dengan konten-konten santai, tetapi berdampak. Saat ini, anak muda mengidamkan gaya berpolitik yang santai dan santun. Anggota Dewan Pertimbangan Timnas Anies-Muhaimin, Syaiful Huda, juga menyadari, video aksi Muhaimin ”nyelepet” Anies sempat viral dan menjadi ”konsumsi renyah” bagi anak muda. Huda menolak terjadinya eksploitasi terhadap ruang privat masyarakat. Konten-konten yang disajikan setiap kandidat seharusnya mendidik dan membuka ruang diskusi, bukan sekadar konten ”receh” dan menghibur. Sekretaris TPN Ganjar-Mahfud, Hasto Kristiyanto, juga menilai seharusnya yang ditampilkan ke publik adalah karakter pemimpin, bukan gimik-gimik politik semata. Menurut Hasto, para kader dan sukarelawan memperbanyak gerak akar rumput dan turun bersama rakyat.
Pengajar hukum pemilu UI, Titi Anggraini, mengatakan kampanye media sosial memang menawarkan harga murah dan target tepat. Risiko yang muncul adalah pemilih hanya disediakan informasi seragam, cenderung eksklusif, dan menjauhkan mereka dari diskursus gagasan. Setiap pasangan calon harus mengedukasi pendukungnya agar mampu memilah informasi dan tidak sekadar terpaku pada hal yang bersifat interaktif serta menghibur. Para pemilih juga perlu meningkatkan literasi digital masing-masing, khususnya dalam pengaturan keamanan pribadi.