Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, mengatakan mobilisasi kepala desa memperlihatkan demokrasi tanpa etika dan moralitas. Terlalu banyak manuver politik yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Neni mengatakan, aparatur pemerintahan desa sebaiknya tidak terseret dalam pusaran persaingan politik dengan alasan apapun supaya tidak merusak praktik demokrasi di tengah masyarakat. Jika para aparatur pemerintahan desa tidak mengindahkan UU Pemilu dan UU Desa, maka menurut Neni hal itu menjadi sinyal akan terjadinya potensi dugaan pelanggaran dalam Pemilu dan Pilpres 2024.
Neni juga mengingatkan aparatur pemerintahan desa terdapat ancaman pidana penjara dan denda jika mereka tidak netral dalam Pemilu atau Pilpres. Panduan sikap aparatur pemerintahan desa dalam menghadapi Pilkada, Pemilu, dan Pilpres diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di dalam kedua beleid itu dipaparkan dengan jelas aparatur pemerintahan desa wajib bersikap netral.
Kepala desa pun bisa dikenakan pidana yang sama bila melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu. Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye juga dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan/tertulis. Hal itu termuat dalam Pasal 29 dan 30 serta 51 dan 52 UU Desa. Jika sanksi administratif itu tak dilaksanakan, mereka bisa diberhentikan sementara dan dilanjutkan dengan pemberhentian.