Penduduk di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) diimbau mewaspadai bahaya polusi karena berpotensi menimbulkan sejumlah penyakit. Jakarta sendiri dalam beberapa waktu terakhir selalu menjadi kota paling polutif di dunia akibat dikepung PLTU batubara ditambah emisi kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Beban Jakarta pun harus dikurangi dengan menciptakan moda transportasi massal yang memadai serta penerapan jalan berbayar secara elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) yang bertujuan mengurangi jumlah kendaraan di jalan. Selain itu, Pemerintah harus berani dan tegas mengambil langkah dengan memensiunkan lebih dini PLTU Batubara.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa yang diminta pendapatnya mengatakan, dampak polusi udara tidak bisa dianggap sepele, apalagi ada puluhan juta penduduk yang tinggal di wilayah Jabodetabek. Penangangan polusi udara di Jakarta katanya harus menyentuh hingga ke akarnya, bukan solusi-solusi temporer. “Artinya pemerintah harus dapat mengidentifikasi sumber polusi dan mengambil kebijakan untuk mengurangi polusi dari sumber-sumber tersebut,” tegas Fabby. Sumber utama polusi udara di Jakarta menurut Fabby adalah asap kendaraan bermotor dan polusi dari asap PLTU serta industri yang membakar batubara yang ada di sekitar Jakarta. Asap PLTU dari Suralaya dan Lontar menjadi sumber polusi di Jakarta.
Kerugian ekonomi yang terjadi akibat polusi udara Jakarta diperkirakan mencapai 2,9 triliun rupiah per tahun atau 2,2 persen dari PDRB Jakarta. “Jadi, penangangan polusi udara di Jakarta harus menyentuh hingga ke akarnya, bukan solusi-solusi temporer,” tegas Fabby. Polusi udara di Ibu Kota diperkirakan berkontribusi terhadap tujuh juta kematian dini setiap tahunnya. Hal ini dianggap PBB sebagai satu-satunya risiko kesehatan terbesar.