Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), pada akhir pekan lalu, di Roma, menyatakan bahwa indeks acuan harga komoditas pangan internasional telah turun 2,1 persen pada Agustus dibandingkan Juli 2023. Kendati turun, namun harga beras melonjak sebesar 9,8 persen pada Agustus dan merupakan harga tertinggi dalam 15 tahun dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan harga beras itu, dipicu oleh larangan ekspor beras yang diberlakukan India sejak Juli. Kondisi tersebut diperparah oleh jeda musiman dalam hal produksi beras di belahan bumi utara.
Menurut FAO, harga keseluruhan untuk biji-bijian dan sereal, yang merupakan komponen terbesar dalam indeks, turun 0,7 persen karena tingginya panen dari produsen-produsen utama. Harga jagung tercatat turun selama tujuh bulan berturut-turut karena panen melimpah di Brasil, sementara harga gandum juga turun 3,8 persen karena tingginya panen di Amerika Serikat (AS) dan Kanada. FAO mengatakan empat dari lima sub-indeks mengalami penurunan. Selain sedikit penurunan harga biji-bijian dan sereal, harga minyak nabati, produk susu, dan daging juga lebih rendah. Sementara itu, harga gula naik sebesar 1,3 persen dan lebih dari 34 persen di atas harga tahun sebelumnya.
Menanggapi indeks FAO, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan peningkatan harga beras 9,8 persen yang merupakan harga tertinggi dalam 15 tahun terakhir, berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan di perdesaan. Hal itu karena petani desa saat ini, meskipun harga gabah dan beras naik, namun tidak akan membawa kemakmuran sampai ke desa. Petani kini bukan lagi sebagai produsen pangan, melainkan konsumen pangan. Agar harga beras tidak terus melonjak, pemerintah perlu secepatnya menambah pasokan beras ke pasar dengan mengeluarkan stok di Gudang Bulog. Pemerintah juga harus cepat menyalurkan bantalan sosial berupa bantuan langsung tunai. Sebab, di tengah kelangkaan beras seperti saat ini, bantuan pangan malah akan makin melonjakkan harga beras di pasaran.