Rencana Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memboikot minyak goreng jika pemerintah tidak membayar utang minyak goreng dalam waktu dekat akan memicu kekacauan di tengah masyarakat. Direktur Eksekutif Gimni Sahat M. Sinaga menyampaikan, dampak akibat hilangnya minyak goreng dari ritel sangat berbahaya, bahkan memicu kekacauan, serta menguras lebih banyak anggaran pemerintah untuk menanggulangi kekacauan tersebut. Sahat menuturkan, pemboikotan tersebut akan memberikan efek domino. Jika ritel tidak berjalan, maka konsekuensinya kepada semua industri. Akibatnya, industri tak lagi membeli tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, dan memicu amarah para petani. Industri juga tidak bisa melakukan ekspor lantaran adanya kebijakan yang mewajibkan industri untuk memasok ke dalam negeri. Dalam Keputusan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 82 tahun 2022 mengatur kewajiban DMO 300.000 ton per bulan berdasarkan kapasitas serta rasio pengasli dasar untuk kegiatan ekspor 1:4.
Gimni mencatat pada semester I/2023 penjualan minyak goreng tercatat sekitar 3,8 juta ton. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 4,15 juta ton. “Terjadi penurunan penjualan, saya nggak ngerti kenapa,” ungkapnya. Melihat dampaknya yang cukup besar, Sahat mendesak pemerintah untuk segera membayar utangnya ke peritel. Dia menilai, pemerintah justru memperumit permasalahan dengan membawa hasil audit hingga ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Seperti diketahui, Aprindo kembali mengancam untuk mengurangi bahkan menghentikan pembelian minyak goreng dari distributor jika pemerintah tidak segera membayar rafaksi minyak goreng. Selain itu, peritel juga berencana untuk berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenpolhukam), pemotongan tagihan kepada distributor oleh perusahan peritel, serta gugatan hukum ke PTUN melalui kuasa perusahaan peritel kepada Aprindo.