Pengusaha jasa logistik buka suara soal rencana pemerintah yang akan melarang lokapasar (marketplace/ ecommerce) menjual barang impor dengan harga kurang dari US$100 atau di bawah Rp1,5 juta (kurs Rp15.000 per dolar AS). Yang akan ditetapkan lewat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50/2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) Mohammad Feriadi mengungkapkan, barang impor murah memang mendominasi volume transaksi belanja online selama ini. Karena itu, dia berharap, revisi Permendag 50/2020 itu dapat meningkatkan penjualan barang-barang UMKM dalam negeri yang selama ini belum mendapat kesempatan untuk dijual belikan melalui online. Meski, dia mengaku belum dapat memprediksi besaran volume pengiriman dan transaksi yang bisa dihasilkan dari penjualan barang UMKM dalam negeri jika larangan itu berlaku sah. “Kalau dari Asperindo tentunya yang paling utama diharapkan adalah jangan sampai terjadi penurunan volume transaksi. Walau faktanya selama ini kiriman barang e–commerce adalah kebanyakan barang impor. Yang nilainya akan terkena (revisi) Permen (Peraturan Menteri) tersebut. Harapannya Permendag ini bisa membuat produk lokal jadi punya kesempatan untuk tumbuh di e–Commerce,” kata Feriadi. Dengan berkembangnya produk UMKM lokal, ujarnya, bisa jadi kompensasi bagi penyedia jasa logistik. “Jadi hilangnya transaksi akibat larangan menjual barang impor tersebut bisa tergantikan dengan barang lokal,” kata Feriadi.
Adapun usulan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam revisi Permendag 50/2020 adalah penjualan produk lokapasar (marketplace) dan platform digital atau social commerce harus melalui izin dan pengenaan pajak yang sama. Marketplace platform digital itu harus sama dengan UMKM lainnya, izin, pajak harus sama, kalau masuk barang harus bayar pajak. Kalau jualan kan ada pajaknya, jangan sampai nanti yang platform digital nggak bayar pajak. Kemudian, platform digital tidak diperbolehkan menjadi produsen atau menghasilkan barangnya sendiri. Produsen biar yang lain (saja), dia kan platform. Misalnya, TikTok bikin sepatu merek TikTok, itu nggak boleh. Itu saya usul begitu, nggak boleh sekaligus produsen. Usulan ketiga, Zulhas meminta agar ditetapkan harga minimum barang impor sebesar US$100 atau Rp1,5 juta. Hal ini sejalan untuk melindungi UMKM dari serbuan masuknya produk-produk dengan harga yang sangat murah.