Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) memandang rencana penambahan dana desa tidak tepat dan justru mendorong semakin banyaknya korupsi di tingkat desa. Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman mengatakan, momentum proses usulan dan pembahasan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 14 Tahun 2014 tentang Desa atau UU Desa yang di dalamnya membahas penambahan dana desa, tidak tepat mengingat bersamaan dengan tahun politik. Menurutnya, terdapat semacam simbiosis mutualisme antara politisi di Senayan yang ingin menggalakkan hubungan dari ribuan desa itu. Sementara di sisi yang lain, kepala desa dan perangkat desa ingin memanfaatkan peluang itu dengan menuntut beberapa poin tuntutan.
Armand menilai lebih baik DPR menunda pembahasan revisi UU Desa hingga selesai Pemilu 2024. “Untuk menghindari poin-poin revisi itu dari kepentingan politik,” ujarnya, Minggu (9/7/2023). Di sisi lain, Armand menyoroti substansi revisi UU Desa. Pertama, masa jabatan kepala desa yang sebelumnya 6 tahun menjadi 9 tahun. Pasalnya, bila melihat Indeks Desa Membangun, yaitu ketahanan sosial, ekonomi, dan ketahanan lingkungan, ditentukan oleh kualitas tata kelola, perencanaan, penganggaran, penyusunan kebijakan, dan kualitas pelayanan desa. Armand menekankan bahwa indeks tersebut ditentukan oleh kapasitas dan integritas kepala dan perangkat desa, tidak ada hubungannya dengan memperpanjang masa jabatan.
Kedua, dana desa yang naik 20 persen. Mengacu pada tiga indeks di atas, dana desa yang saat ini berkisar antara Rp900 juta hingga Rp1,4 miliar sudah sangat cukup dan telah menunjukkan hal positif untuk membangun desa. Bila terealisasi penambahan dana desa hingga 20 persen, artinya setiap desa akan menerima sekitar Rp2 miliar. “Catatan korupsi kepala desa itu luar biasa, dari 2015-2022, ICW mencatat total kerugian negara sekitar Rp700 miliar dari 500-an kasus, ini angka yang besar. Dengan kasus sepert ini, yang perlu dibenahi bukan alokasi anggarannya, tetapi tata kelola penggunaan dana desa,” sebutnya. Ketiga, kualitas belanja daerah yang masih rendah dan kerap dikeluhkan karena banyak mengendap di bank. Tanpa tata kelola anggaran atau belanja daerah yang baik, potensi korupsi di level desa ke depan semakin tinggi. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), rerata realisasi pendapatan provinsi dan kabupaten/kota hingga 30 Juni 2023 sebesar 36,04 persen atau sebanyak Rp444,19 triliun. Sementara rerata realisasi belanja provinsi dan kabupaten/kota hingga 30 Juni 2023, sebanyak 30,04 persen atau Rp387,48 triliun.