Wacana pembatasan masa jabatan ketua umum parpol mengemuka dengan adanya permohonan uji materi Pasal 23 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke MK. Permohonan diajukan Eliadi Hulu dan Saiful Salim pada tanggal 27 Juni 2023. Para pemohon menjelaskan, alasan permohonan di antaranya UU Parpol wajib memerintahkan pengaturan pembatasan masa jabatan pimpinan parpol dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan. Pengaturan pembatasan periodisasi pimpinan parpol dipandang perlu karena implementasi dari parpol sebagai instrumen, pilar demokrasi, dan pelaksana kedaulatan rakyat.
Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, mengatakan uji materi untuk membatasi masa jabatan ketua umum parpol tak tepat sasaran (2/7/2023). Setiap partai memiliki sifat yang unik, termasuk dalam tradisi kepemimpinannya. Menurut Hasto, merujuk konstitusi dan pengalaman di negara lain, masa jabatan yang semestinya dibatasi adalah pejabat negara dan/atau pemerintah. Adapun durasi jabatan ketua umum parpol bergantung pada konsensus di internal atau AD/ART partai. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, melihat uji materi terhadap masa jabatan ketua umum parpol merupakan gugatan yang aneh dan justru menentang prinsip kebebasan berorganisasi yang dijamin konstitusi. Parpol merupakan organisasi independen yang dibentuk masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan pendapat, kehendak, dan cita-cita.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengungkapkan, parpol merupakan sumbu utama penerapan prinsip demokratisasi. Selaku instrumen demokrasi, sudah sewajarnya jika pembatasan kekuasaan petinggi partai dilakukan. Mantan Ketua MK, Jimly Ashiddiqie, juga sepakat dengan adanya sejumlah pembatasan untuk ketua umum partai. Selain masalah demokrasi internal, pembatasan lain yang perlu diatur ialah larangan rangkap jabatan serta benturan kepentingan antara parpol dengan jabatan publik, korporasi, ormas, dan industri media.