Perubahan iklim yang terjadi di dunia secara nyata telah meningkatkan potensi kejadian bencana. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto. “Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrim,” ujarnya dalam keterangan yang diterima InfoPublik, Minggu (4/6/2023).
Jika melihat data bencana terkait iklim dengan dampak signifikan, di tingkat global khususnya sejak tahun 1961, tren kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana. Hal yang sama dengan data bencana di Indonesia. Tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam dalam mengalami kenaikan hingga 82 persen jika dilihat dari tahun 2010 hingga 2022. “Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi,” tambahnya.
Suharyanto juga menjelaskan, dari data yang dihimpun BNPB pada lima bulan di awal tahun 2023 ini, sudah terjadi 1.675 kejadian bencana. Berdasarkan data yang dihimpun BNPB dari 1 Januari hingga 31 Mei 2023, terdapat setidaknya 1.675 kejadian yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1 persen. Untuk bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan yang utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir. Dampak dari adanya perubahan iklim tidak hanya terjadi di hulu, peningkatan suhu global memicu tren kenaikan tinggi muka laut.