Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Senin (22/5), mengatakan bencana akibat cuaca melonjak dalam 50 tahun terakhir sehingga kerusakan pada perekonomian membengkak. Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organisation (WMO) mencatat peristiwa yang berhubungan dengan cuaca, iklim, dan air yang ekstrem menyebabkan 11.778 bencana yang dilaporkan antara 1970 hingga 2021.Bencana tersebut juga menewaskan lebih dari dua juta orang dan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 4,3 triliun dollar Amerika Serikat (AS).
Saat suhu bumi semakin panas, produksi beras dalam masalah yang mengancam pangan dan penghidupan miliaran orang. Kadang-kadang curah hujan tidak cukup, saat bibit membutuhkan air, atau air melimpah sehingga tanaman terendam banjir. Begitu pula saat laut mengganggu, garam merusak tanaman. Saat suhu malam menjadi hangat, hasil panen pun turun. Ancaman itu memaksa dunia menemukan cara baru untuk menanam salah satu komoditas utama. Petani padi menggeser kalender tanam mereka. Para perekayasa tanaman sedang berupaya mengembangkan varietas super yang kuat agar bertahan pada suhu tinggi atau tanah dengan kadar garam yang tinggi. Krisis iklim sangat menyusahkan bagi petani kecil dengan sedikit lahan, seperti halnya ratusan juta petani di Asia.
Di seluruh dunia, produksi beras diproyeksikan menyusut pada 2023, sebagian besar karena cuaca ekstrem. Di Tiongkok, sebuah penelitian menemukan bahwa curah hujan yang ekstrem telah mengurangi hasil panen padi selama 20 tahun terakhir. India juga membatasi ekspor beras karena khawatir produksi mereka tidak akan cukup untuk memberi makan rakyatnya sendiri. Di Pakistan, panas dan banjir menghancurkan panen, sementara di California, AS, kekeringan panjang menyebabkan banyak petani mengosongkan ladang mereka. Vietnam saat ini sedang mempersiapkan untuk menghentikan produksi hampir 101.171 hektare lahan di Delta Mekong, sentra beras negara itu. Perubahan iklim sebagian penyebabnya, tapi juga bendungan di hulu Sungai Mekong yang menyumbat aliran air bersih.