Para kepala keuangan dari kelompok tujuh negara industri maju (G7) seusai menggelar pertemuan selama tiga hari di Jepang memperingatkan ancaman ketidakpastian ekonomi global yang lebih besar. Dalam komunike para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G7, akhir pekan lalu, mereka menyebut invasi Russia yang terus berlanjut ke Ukraina dan melonjaknya inflasi di seluruh dunia sebagai faktor yang membahayakan prospek ekonomi global. “Kita harus tetap waspada dan tetap gesit dan fleksibel dalam kebijakan ekonomi makro kita di tengah meningkatnya ketidakpastian tentang prospek ekonomi global,” kata mereka.
Meskipun itu tidak tercantum dalam pernyataan setebal 14 halaman yang dikeluarkan pada penutupan pertemuan, ancaman gagal bayar oleh Amerika Serikat (AS) jika Washington gagal menaikkan plafon utangnya pada 1 Juni, juga dibahas selama pertemuan. Menteri Keuangan Jerman, Christian Lindner, telah mendesak politisi Amerika untuk membuat keputusan yang lebih dewasa, sebab dengan default pasti akan mendatangkan malapetaka pada ekonomi global. Tiongkok juga tidak dikutip dalam komunike tersebut, konon karena “paksaan ekonomi” terhadap negara-negara yang tidak setuju dengannya.
Jepang sendiri memelopori upaya untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah di kesenjangan Utara-Selatan (Global South, salah satu jenis kesenjangan sosial-ekonomi dan politik) untuk mendiversifikasi rantai pasokan mereka atas nama keamanan energi, serta untuk mengatasi kerentanan utang mereka. Pernyataan itu mengatakan para kepala keuangan mengakui “kebutuhan mendesak untuk mengatasi kerentanan yang ada dalam rantai pasokan produk-produk penting untuk energi bersih yang sangat terkonsentrasi”. “Diversifikasi rantai pasokan dapat berkontribusi untuk menjaga keamanan energi dan membantu kami menjaga stabilitas ekonomi makro,” sebut pernyataan G7.